![cinemaxxtheater.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/25/padman-5d8a53a20d823079654eeda3.png?t=o&v=555)
Lagi, Itu adalah ciri realisme sosial umumnya masyarakat kecil ekonomi lemah, dengan pendidikan nyaris tak tamat sekolah dasar. Kemiskinan memang bisa dengan kejam menjungkirbalikkan logika.
Mungkin, karena wanita di desa yang miskin itu takut tidak akan kuat membeli pembalut hasil pabrikan, ditambah pemahaman yang lemah soal biologi dan fungsi-fungsi faal tubuhnya sendiri, Gayatri istri Lakshmi, sebagaimana juga wanita-wanita berpikiran kolot lainnya di desa itu, tak kurang ibu Lakshmi, kakak perempuannya, pun termasuk adik-adiknya yang terdidik karena sedang duduk di bangku sekolah, merasa bahwa "tamu bulanan" adalah hal yang berupa aib dan tabu untuk dibahas, apalagi oleh pria beristri seperti Lakshmi.
Tidak jelas, apakah kemiskinan yang mebuat manusia menjadi bodoh, atau kebodohan yang membuat manusia menjadi miskin.
Kata sang dokter, dulu pada sekitar tahun 1875-1876, tentara Perancis menggunakan bahan-bahan semacam pembalut wanita saat ini untuk menyelamatkan nyawa tentara perancis yang terluka pada perang dunia pertama. Maka, sudah semestinya, wanita-wanita di kampung itu lebih peduli dengan keselamatan jiwanya sendiri, dengan beralih dari kain buruk yang dicuci berulang kali itu ke pembalut yang lebih higienis.
Bila memang kemiskinan yang mengakibatkan Gayatri bertahan dengan tradisi yang berbahaya itu, maka Lakshmi tidak mau menyerah dan bertahan dalam kebodohan. Ia termotivasi untuk membuat dengan tangannya sendiri pembalut higienis untuk istrinya, Gayatri.
Pembalut yang dibelinya di toko seharga 55 Rupee per kemasannya, dirasa Gayatri terlalu mahal untuk dipakai 1 setiap hari selama 5 hari dalam sebulan, selama 12 bulan dalam setahun, di tengah kehidupan mereka yang miskin di kampung kumuh tepi utara sungai Narmada di Maheshwar.
Suatu kali di tepi sungai, di bawah pohon asoka, Lakshmi tersenyum sinis menyindir dirinya sendiri. Ia merasa dibodohi oleh kapitalis kaya pembuat produk pembalut wanita. "Kami dipaksa membayar 55 rupee hanya untuk 5 lembar pembalut tipis berisi kapas," gerutunya.
Maka, ia membeli sekantong kapas, yang sebetulnya hanya ia minta kepada penjual kapas di kampungnya yang bingung membuat harganya karena hanya sejumput kapas yang tidak menggerakkan neraca timbang, dan beberapa helai kain perban.
Di bawah pohon asoka itulah ia bungkus kapasnya dengan perban, sebanyak lima bungkus, kemudian kelima pembalut itu ia bungkus dengan daun, plus bunga asoka di atasnya sebagai hiasan, yang akan dia berikan kepada Gayatri, istrinya, sebagai kado tanda cintanya. Ia belum memiliki anak, buah pernikahannya.
Namun, usahanya tidak berjalan mulus. Istrinya, ibunya, saudara-saudara perempuannya, anak remaja baru puber tetangganya, bahkan siswi-siswi sekolah medis yang diharapkannya menjadi sukarelawan, tidak ada satupun yang rela menjadi pengguna produknya.