Alih-alih suka memakainya, Lakshmi bahkan dicap menjadi aib bagi keluarga, bahkan bagi desa tempat tinggalnya. Hingga kemudian istrinya dijemput paksa oleh ayah mertuanya.
Lakshmi sendiri pergi meninggalkan desanya, dan bertekad membalikkan rasa malu keluarga bahkan istrinya sendiri atas dirinya, menjadi rasa bangga.Â
Ia berusaha mencari ilmu, tanpa bekal sekolah formal, hanya bermodal tekad baja demi kehormatan dirinya sendiri dan terutama sekali karena rasa tanggung jawabnya terhadap perubahan pola pikir, kesehatan dan keselamatan nyawa istrinya dan wanita-wanita lain di desanya.
Itu juga tidak mudah. Hingga akhirnya bermodal belajar di internet, dan hutang pinjaman dari teman-temannya, ia membuka laboratoriumnya sendiri. Bukan R&D atau Research and Development, tetapi T&F atau Try and Fail, itulah yang menjadi basis semangat penemuannya. Ia bukan anak sekolahan.
Pada suatu hari, ia mendapatkan pembeli pertamanya, nona Pari. Ia adalah seorang mahasiswi calon MBA, yang juga menyenangi kesenian. Suatu ketika, saat pertunjukannya dekat tempat tinggal Lakshmi, ia membutuhkan pembalut. Tak ada satupun apotek yang buka, kecuali bengkel Lakshmi. Maka, nona Pari menjadi sukarelawan pertamanya.
Pembalut yang dipakai oleh nona Pari pada malam itu, dihasilkan dari sebuah mesin pembuat pembalut ciptaan Lakshmi sendiri, sebuah mesin seharga hanya 90.000 Rupee, atau saat ini seharga 18.000.000 Rupiah dengan kurs 1 Rupee setara 200 Rupiah, yang dia peroleh dari hutang.
Selanjutnya, nona Pari yang ayahnya adalah seorang dosen, menominasikan Lakshmi dan penemuannya untuk mengikuti festival inovasi di New Delhi, yang bertajuk 4th National Sosial Innovation Award.Â
Itu adalah sebuah festival yang diadakan sebagai wadah apresiasi bagi para inventor yang mengubah kehidupan sosial di India dan memotivasi semangat inovasi India. Lakshmi pun kembali harus meminjam 500 Rupee dari temannya untuk ongkos mengikuti festival itu.
Di hadapan para juri, Lakshmi mengaku dengan mesin sederhana itu, ia bisa memprodukai pembalut wanita yang higienis, hanya seharga 2 Rupee. Itu adalah harga yang mampu dijangkau oleh seluruh wanita miskin di India.Â
Katanya, misinya bukan untuk uang, tapi bagaimana bisa mengembalikan waktu efektif 2 bulan yang terbuang dalam setahun bagi wanita miskin di India.
Kisah ini, menunjukkan sisi feminin Lakshmi, seorang laki-laki yang berjuang memikirkan hal-hal terbaik yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup wanita. Katanya, negara kuat bukan karena laki-lakinya kuat, melainkan karena ibu, saudara-saudara perempuan dan istri-istri yang kuat.