Mohon tunggu...
Tengku Derizal
Tengku Derizal Mohon Tunggu... Konsultan - Tulisan-tulisan seputar hukum, sejarah, sosial-politik, dan ekonomi.

Lulusan Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia. Sekarang bekerja sebagai seorang corporate counsel di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bupati Meranti Gadaikan Kantor Pemda, Bolehkah?

19 April 2023   13:21 Diperbarui: 19 April 2023   13:44 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal 5 PP Pengelolaan BMN/D memang mengatur lebih lanjut bahwa Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah, serta berwenang dan bertanggung jawab dalam, diantaranya, menetapkan Penggunaan, Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan. 

Namun UU Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah ("PP Pinjaman Daerah") memberikan batasan kepada Kepala Daerah dalam menggunakan kewenangannya sebagaimana tersebut di atas, di mana salah satunya adalah larangan secara tegas untuk menjadikan Barang Milik Daerah sebagai jaminan/agunan untuk mendapatkan pinjaman. Larangan ini terdapat dalam ketentuan di bawah ini:

  • Pasal 49 ayat (5) UU Perbendaharaan Negara: "Barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman."
  • Pasal 4 ayat (3) PP Pinjaman Daerah: "Pendapatan dan/atau barang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan Pinjaman Daerah."

Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Barang Milik Daerah serta Pinjaman Daerah mengatur secara tegas larangan "menggadaikan" (menjadikan jaminan/agunan) Barang Milik Daerah, termasuk tanah dan bangunan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti seperti Kantor Bupati Kepulauan Meranti mau pun Kantor Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Meranti.

C. Penyalahgunaan Wewenang oleh Kepala Daerah

Dari aspek Hukum Administrasi Negara, dalam hal terdapat Kepala Daerah yang menjadikan Barang Milik Daerah sebagai jaminan/agunan (termasuk memberikan persetujuan atas hal tersebut), maka hal tersebut memenuhi unsur larangan melampaui Wewenang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ("UU Administrasi Pemerintahan") karena Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Melampaui Wewenang merupakan tindakan penyalahgunaan Wewenang sesuai Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan, dimana terdapat sanksi administratif berat terhadap tindakan penyalahgunaan Wewenang tersebut berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan.

Salah satu jenis sanksi administraif berat berdasarkan Pasal 81 ayat (3) huruf d UU Administrasi Pemerintahan adalah "pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa."

D. Tidak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian

Dari aspek Hukum Perdata, dalam hal terdapat perjanjian pinjaman dengan pemerintah daerah yang mencantumkan syarat dan ketentuan bahwa barang milik daerah mau pun pendapatan daerah dijadikan sebagai jaminan dalam pinjaman daerah, maka hal tersebut dapat mengakibatkan perjanjian pinjaman tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya suatu perjanjian dan menjadi batal demi hukum (null and void) berdasarkan Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"):

  • Pasal 1320 KUHPerdata: "Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu; dan (4) suatu sebab yang tidak terlarang."
  • Pasal 1337 KUHPerdata: "Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu
    bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
    "

E. Ketentuan Manajemen Risiko Perbankan Syariah

Dari aspek Hukum Perbankan, terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan terkait dengan aspek Manajemen Risiko Perbankan Syariah:

  • Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ("UU Perbankan Syariah") dan Pasal 2 s.d. 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65 /POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah ("POJK Manajemen Risiko Perbankan Syariah"), dalam melakukan kegiatan usaha, Perbankan Syariah wajib untuk menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, diantaranya, manajemen risiko hukum. 
  • Berdasarkan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf e POJK Manajemen Risiko Perbankan Syariah, salah satu yang dapat menimbulkan risiko hukum bagi Perbankan Syariah adalah kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak.
  • Dalam melakukan penerapan Manajemen Risiko oleh Perbankan Syariah, paling sedikit mencakup, diantaranya, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun