Mohon tunggu...
Tengku Derizal
Tengku Derizal Mohon Tunggu... Konsultan - Tulisan-tulisan seputar hukum, sejarah, sosial-politik, dan ekonomi.

Lulusan Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia. Sekarang bekerja sebagai seorang corporate counsel di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bupati Meranti Gadaikan Kantor Pemda, Bolehkah?

19 April 2023   13:21 Diperbarui: 19 April 2023   13:44 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Sentavio on Freepik

Bupati Meranti Gadaikan Kantor Pemda, Bolehkah?

Pertanyaan tersebut terlintas di benak penulis karena beberapa hari belakangan ini, penulis mengamati perhatian publik pada kabar bahwa terdapat seorang Bupati yang menggadaikan kantor pemerintah daerah nya sendiri kepada Bank sejumlah Rp100 milyar.

Urusan "gadai menggadai" ini pun lantas mendapat perhatian yang begitu besar, mungkin sama besarnya dengan permasalahan korupsi yang sedang dijalani oleh Bupati tersebut. 

Untuk memberikan pemahaman hukum dan gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh kepada masyarakat, maka penulis terpanggil untuk membuat tulisan ini.

A. Duduk Perkara

1. Pada tanggal 14 April 2023, Bupati non-aktif Kabupaten Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, yang sedang tersandung kasus korupsi, dikabarkan "menggadaikan" (baca: menjadikan jaminan/agunan) bangunan Kantor Bupati Meranti (Sumber: Rahmat Santoso, 2023). 

2. Pada hari yang sama, hal ini diklarifikasi lebih oleh Pimpinan PT Bank Pembangunan Daerah Riau dan Kepulauan Riau Syariah (Perseroda) ("BRK Syariah") Cabang Selatpanjang, Ridwan, dimana ia menjelaskan bahwa yang "digadaikan" itu bukan Kantor Bupati Meranti, namun Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kepulauan Meranti (Sumber: Rahmat Santoso, 2023).

3. Berselang tiga hari, pada tanggal 17 April 2023, Sekretaris BRK Syariah, Edi Wardana, memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa:

  • BRK Syariah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Pemkab Kepulauan Meranti dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur daerah tersebut berdasarkan permohonan pinjaman dari Pemkab Kepulauan Meranti tanggal 25 Juli 2022;
  • Fasilitas pembiayaan kepada Pemkab Kepulauan Meranti tersebut memiliki landasan hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 979/1833/SJ tentang Pertimbangan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Lain, Lembaga Keuangan Bank, dan Lembaga Keuangan Bukan Bank;
  • Pinjaman Daerah yang diberikan tersebut juga mengacu pada Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-69/MK.7/2022 perihal tanggapan atas permohonan pelampauan batas maksimal defisit APBD Kabupaten Kepulauan Meranti TA 2022 yang dibiayai dari pinjaman daerah;
  • Fasilitas pembiayaan yang diberikan menggunakan akad syariah yaitu Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) dengan sumber pengembalian pinjaman daerah adalah berasal dari APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban;
  • Plafond pembiayaan yang diberikan adalah maksimum sebesar Rp100 miliar, dimana Pemkab Kepulauan Meranti hanya meminjam Rp59,3 miliar (sampai dengan batas akhir masa penarikan 31 Desember 2022);
  • Pemkab Kepulauan Meranti sendiri telah beberapa kali mengangsur, dimana sampai dengan posisi 31 Maret 2023 sisa pinjaman (baki debet) adalah sebesar Rp47,2 miliar;
  • Jangka waktu fasilitas pembiayaan ini akan berakhir pada 7 Desember 2024 dan tidak ada jaminan berupa aset atau fisik aset yang digadaikan sebagai jaminan; dan
  • Berdasarkan akad antara BRK Syariah dengan Pemkab Kepulauan Meranti, fasilitas pembiayaan yang diberikan didukung oleh Surat Persetujuan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dan surat pernyataan Bupati Kepulauan Meranti untuk melunasi.

(Sumber: rls, 2023)

B. Larangan Menjadikan Barang Milik Daerah sebagai Jaminan

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ("UU Perbendaharaan Negara") dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 ("PP Pengelolaan BMN/D") memberikan pengertian bahwa "Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah ." Termasuk dalam pengertian Barang Milik Daerah ini adalah tanah dan bangunan, seperti bangunan kantor pemerintahan daerah.

Pasal 5 PP Pengelolaan BMN/D memang mengatur lebih lanjut bahwa Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah, serta berwenang dan bertanggung jawab dalam, diantaranya, menetapkan Penggunaan, Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan. 

Namun UU Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah ("PP Pinjaman Daerah") memberikan batasan kepada Kepala Daerah dalam menggunakan kewenangannya sebagaimana tersebut di atas, di mana salah satunya adalah larangan secara tegas untuk menjadikan Barang Milik Daerah sebagai jaminan/agunan untuk mendapatkan pinjaman. Larangan ini terdapat dalam ketentuan di bawah ini:

  • Pasal 49 ayat (5) UU Perbendaharaan Negara: "Barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman."
  • Pasal 4 ayat (3) PP Pinjaman Daerah: "Pendapatan dan/atau barang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan Pinjaman Daerah."

Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Barang Milik Daerah serta Pinjaman Daerah mengatur secara tegas larangan "menggadaikan" (menjadikan jaminan/agunan) Barang Milik Daerah, termasuk tanah dan bangunan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti seperti Kantor Bupati Kepulauan Meranti mau pun Kantor Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Meranti.

C. Penyalahgunaan Wewenang oleh Kepala Daerah

Dari aspek Hukum Administrasi Negara, dalam hal terdapat Kepala Daerah yang menjadikan Barang Milik Daerah sebagai jaminan/agunan (termasuk memberikan persetujuan atas hal tersebut), maka hal tersebut memenuhi unsur larangan melampaui Wewenang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ("UU Administrasi Pemerintahan") karena Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Melampaui Wewenang merupakan tindakan penyalahgunaan Wewenang sesuai Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan, dimana terdapat sanksi administratif berat terhadap tindakan penyalahgunaan Wewenang tersebut berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan.

Salah satu jenis sanksi administraif berat berdasarkan Pasal 81 ayat (3) huruf d UU Administrasi Pemerintahan adalah "pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa."

D. Tidak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian

Dari aspek Hukum Perdata, dalam hal terdapat perjanjian pinjaman dengan pemerintah daerah yang mencantumkan syarat dan ketentuan bahwa barang milik daerah mau pun pendapatan daerah dijadikan sebagai jaminan dalam pinjaman daerah, maka hal tersebut dapat mengakibatkan perjanjian pinjaman tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya suatu perjanjian dan menjadi batal demi hukum (null and void) berdasarkan Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"):

  • Pasal 1320 KUHPerdata: "Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu; dan (4) suatu sebab yang tidak terlarang."
  • Pasal 1337 KUHPerdata: "Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu
    bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
    "

E. Ketentuan Manajemen Risiko Perbankan Syariah

Dari aspek Hukum Perbankan, terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan terkait dengan aspek Manajemen Risiko Perbankan Syariah:

  • Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ("UU Perbankan Syariah") dan Pasal 2 s.d. 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65 /POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah ("POJK Manajemen Risiko Perbankan Syariah"), dalam melakukan kegiatan usaha, Perbankan Syariah wajib untuk menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, diantaranya, manajemen risiko hukum. 
  • Berdasarkan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf e POJK Manajemen Risiko Perbankan Syariah, salah satu yang dapat menimbulkan risiko hukum bagi Perbankan Syariah adalah kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak.
  • Dalam melakukan penerapan Manajemen Risiko oleh Perbankan Syariah, paling sedikit mencakup, diantaranya, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko.

Jika terdapat Bank Syariah yang mensyaratkan Barang Milik Daerah sebagai jaminan pembiayaan, maka dapat dianggap terdapat kelemahan dalam penerapan Manajemen Risiko Bank Syariah tersebut, khususnya kegagalan dalam melakukan identifikasi risiko hukum bahwa Barang Milik Daerah dilarang untuk dijadikan jaminan pembiayaan (pinjaman) berdasarkan Pasal 49 ayat (5) UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 4 ayat (3) PP Pinjaman Daerah sehingga berakibat pada tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian/kontrak pembiayaan.

F. Penutup

Berdasarkan penjelasan dari Pihak BRK Syariah kepada media massa serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana telah kita bahas di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa:

  • Kantor Bupati Kepulauan Meranti mau pun Kantor Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Meranti tidak dijadikan jaminan pinjaman ke BRK Syariah;
  • Secara Hukum Administrasi Negara, dalam hal terdapat Kepala Daerah yang menjadikan Barang Milik Daerah (termasuk tanah dan bangunan) sebagai jaminan atas pinjaman, maka hal tersebut merupakan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan 18 UU Administrasi Pemerintahan karena tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 49 ayat (5) UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 4 ayat (3) PP Pinjaman Daerah;
  • Secara Hukum Perdata, dalam hal Barang Milik Daerah (termasuk tanah dan bangunan) dijadikan sebagai jaminan atas pinjaman, maka perjanjian pinjaman tersebut menjadi batal demi hukum (null and void) karena tidak memenuhi salah satu dari syarat sah perjanjian, yaitu Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 KUHPerdata; dan
  • Secara Hukum Perbankan, dalam hal terdapat Bank Syariah yang menyalurkan pembiayaan dengan menjadikan Barang Milik Daerah (termasuk tanah dan bangunan) sebagai jaminan, maka terdapat risiko hukum yang timbul karena tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak (perjanjian) sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf e POJK Manajemen Risiko Perbankan Syariah, dimana hal ini dapat berakibat pada tidak terpenuhinya kewajiban Bank Syariah tersebut dalam menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU Perbankan Syariah jo. Pasal 2 ayat (1) POJK Manajemen Risiko Perbankan Syariah.

Semoga tulisan ini dapat menjadi tambahan perspektif dan pengetahuan kita semua atas permasalahan di Kabupaten Kepulauan Meranti tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun