Mohon tunggu...
Tengku Derizal
Tengku Derizal Mohon Tunggu... Konsultan - Tulisan-tulisan seputar hukum, sejarah, sosial-politik, dan ekonomi.

Lulusan Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia. Sekarang bekerja sebagai seorang corporate counsel di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lockdown, Kewenangan Siapa?

18 Maret 2020   01:09 Diperbarui: 21 Maret 2020   00:09 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
man holding chain-link fence (Photo by Milad B. Fakurian on Unsplash)

PENDAHULUAN

Latar belakang tulisan ini dibuat oleh penulis adalah karena kebingungan penulis sendiri dalam mencerna informasi yang beredar di media-media dari para pejabat di Republik ini berkaitan dengan sesuatu yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat, yaitu lockdown. 

Ada pejabat di daerah yang bersiap untuk melakukan lockdown di wilayahnya namun terdapat juga pejabat yang mengatakan bahwa lockdown merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. 

Lebih lanjut, jika memang benar lockdown merupakan kewenangan pemerintah pusat, lembaga mana di pemerintah pusat yang berwenang untuk menetapkan lockdown? Apakah Menteri Kesehatan? Apakah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)? Atau hanya Presiden RI sendiri yang berwenang untuk menetapkan lockdown?

Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, penulis telah menemukan dua terminologi yang menurut penulis paling mendekati dengan apa yang disebut-sebut dan dipahami sebagai lockdown di pemikiran masyarakat, yaitu  "Pembatasan Sosial Berskala Besar"  dan "Karantina Wilayah".

PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR

Pembatasan Sosial Berskala Besar didefinisikan dalam UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan) sebagai "pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi." 

Pembatasan Sosial Berskala Besar tersebut paling sedikit meliputi: (a) peliburan sekolah dan tempat kerja; (b) pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan, penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan kewenangan Menteri Kesehatan. 

Jika melihat definisi di atas, Pembatasan Sosial Berskala Besar lebih tepat disebut dengan movement restriction dibandingkan dengan suatu lockdown. Jika dicari padananannya di luar negeri, Pembatasan Sosial Berskala Besar ini mungkin sama dengan Movement Control Order yang akan berlaku efektif di Malaysia sejak tanggal 18 Maret 2020 s.d. 31 Maret 2020.

KARANTINA WILAYAH 

Karantina Wilayah didefinisikan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai "pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi." 

Karantina Wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah dan anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.  

Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. 

Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.

Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan, penetapan Karantina Wilayah juga merupakan kewenangan Menteri Kesehatan. Jika melihat definisi di atas, Karantina Wilayah merupakan padanan yang paling tepat untuk lockdown. Di luar negeri, Karantina Wilayah ini mungkin sama dengan lockdown/quarantine yang diterapkan oleh Pemerintah Tiongkok di Wuhan, RRT.

WABAH DAN KEKARANTINAAN KESEHATAN

UU Kekarantinaan Kesehatan sangat berkaitan dengan UU No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah Penyakit Menular). Pasal 3 UU Wabah Penyakit Menular mengatur bahwa penetapan jenis-jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah merupakan kewenangan Menteri Kesehatan. 

Lebih lanjut, Pasal UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur bahwa Pemerintah Pusat berwenang untuk menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Menteri Kesehatan, dalam hal ini Bapak Terawan Agus Putranto, telah menggunakan kewenangannya dengan menerbitkan SK Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/104/2020 Tanggal 4 Februari 2020 yang isinya menetapkan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah.  

SK tersebut juga menyebutkan bahwa Coronavirus telah ditetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (Public Health Emergency of International Concern). 

Namun, hal yang sepengetahuan penulis belum ditetapkan oleh Menteri Kesahatan/Pemerintah Pusat secara jelas adalah apa yang disebut dengan penetapan "daerah wabah" berdasarkan UU Wabah Penyakit Menular serta wilayah yang berada pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat berdasarkan UU Wabah Penyakit Menular. 

Hal ini penting untuk ditetapkan terlebih dahulu, mengingat bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar mau pun Karantina Wilayah merupakan bagian respon terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, sehingga dibutuhkan suatu penetapan daerah atau wilayah yang terdefinisi secara jelas. 

Penetapan daerah wabah oleh Menteri Kesehatan harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis dan keadaan masyarakat dari kepala daerah di daerah tersebut, sesuai dengan PP No. 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.

Lalu, selain dari yang telah disebutkan di atas, apakah pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan terkait dengan "lockdown" ini? Bagaimana juga dengan kewenangan BNPB?

PENANGGULANGAN BENCANA

Dalam UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, dikenal suatu terminologi bernama "Bencana Nonalam", dimana UU Penanggulangan Bencana mendefinisikan Bencana Nonalam sebagai "bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit ".  

Definisi ini, jika dikaitkan dengan SK Menteri Kesehatan yang menetapkan Infeksi Novel Coronavirus sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah, secara jelas mengartikan bahwa Infeksi Novel Coronavirus juga termasuk dalam ranah UU Penanggulangan Bencana karena termasuk dalam Bencana Nonalam.

Dalam hal ini, Pasal 51 UU Penanggulangan Bencana mengatur bahwa penetapan status darurat bencana (disaster emergency status) untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota, yang penetapannya dilakukan atas dasar rekomendasi dari BNPB. 

Sampai dengan saat ini sepengetahuan penulis, belum ada penetapan status darurat bencana yang ditetapkan oleh Presiden dan dalam konteks Provinsi DKI Jakarta, oleh Gubernur DKI Jakarta. 

Penentuan status keadaan darurat bencana merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat (emergency response).

Akan tetapi, selain status darurat bencana, dalam Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Keadaan Tertentu (Perpres No.17/2018), dikenal suatu terminologi yang bernama "Keadaan Tertentu", dimana Keadaan Tertentu didefinisikan sebagai "suatu keadaan dimana status Keadaan Darurat Bencana belum ditetapkan atau status Keadaan Darurat Bencana telah berakhir dan/atau tidak diperpanjang, namun diperlukan atau masih diperlukan tindakan guna mengurangi Risiko Bencana dan dampak yang lebih luas." Berdasarkan Pasal 3 Perpres No.17/2018 jo. Pasal 7 Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2018, yang berwenang untuk menetapkan Status Keadaan Tertentu adalah Kepala BNPB.

Kepala BNPB, dalam hal ini Bapak Doni Monardo, telah menetapkan bahwa Indonesia berada dalam Status Keadaan Tertentu dengan menerbitkan SK Kepala BNPB No. 9.A Tahun 2020 dan diperpanjang dengan SK Kepala BNPB No. 13.A Tahun 2020, diperpanjang sejak 29 Februari 2020 s.d. 29 Mei 2020. 

Namun, hal ini bukan berarti bahwa Indonesia telah berada dalam "status darurat bencana", dikarenakan status keadaan tertentu merupakan keadaan dimana status Keadaan Darurat Bencana belum ditetapkan.

PEMDA DAN LOCKDOWN

Jika kita membaca tulisan di atas, maka menjadi jelas kenapa terdapat beberapa pejabat di daerah yang merasa bahwa lockdown masih dalam ranah kewenangannya. 

Hal ini dikarenakan para pejabat daerah tersebut mendasarkan kewenangannya pada UU Penanggulangan Bencana, dimana masing-masing kepala daerah dapat menetapkan status darurat bencana sesuai dengan wilayah kewenangannya. Namun, hal tersebut memiliki dua kendala besar:

1. Penetapan status darurat bencana oleh masing-masing kepala daerah hanya dapat dilakukan  atas dasar rekomendasi dari BNPB, dimana sekarang ini, Kepala BPNB telah diangkat menjadi Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 berdasarkan SK Presiden No. 7 Tahun 2020 Tanggal 13 Maret 2020. Hal ini membuat dalam prakteknya, penetapan status darurat tetap berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat.

2. Ruang lingkup Tanggap Darurat yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana tidak secara tegas menyebutkan mekanisme yang menyerupai lockdown. Hal ini berbeda dengan mekanisme Karantina Wilayah atau Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, dimana kedua hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Pusat cq. Menteri Kesehatan.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemahaman penulis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan Pemerintah Daerah: (a) Memberikan pertimbangan atas penetapan Daerah Wabah; dan (b) menetapkan status darurat bencana di wilayah masing-masing.

2. Kewenangan Menteri Kesehatan: (a) menetapkan penyakit yang dapat menimbulkan wabah; (b) menetapkan daerah wabah; (c) menetapkan pembatasan sosial berskala besar; dan (d) menetapkan karantina wilayah.

3. Kewenangan BNPB: (a) memberikan rekomendasi sebagai dasar penetapan status darurat bencana; dan (b) menetapkan status keadaan tertentu.

4. Kewenangan Pemerintah Pusat (Presiden RI): menetapkan wilayah yang terjangkit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

SARAN

Masukan yang terpikirikan oleh penulis sekarang untuk mencegah saling berkonfliknya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah adalah agar masing-masing tingkatan pemerintah dapat menggunakan kewenangannya dengan tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Dalam keadaan seperti ini, Unified Command dan Single Point of Contact menjadi sangat penting. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dengan Kepala BNPB sebagai Ketua Pelaksananya, harus diperkuat oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

2. Perlu menetapkan daerah wabah dan wilayah yang terjangkit terlebih dahulu, lalu menetapkan daerah/wilayah tersebut dalam status darurat bencana, sehingga Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dapat diberikan akses kewenangan yang lebih besar melalui kewenangan yang diberikan kepada BNPB (status darurat bencana tidak sama dengan lockdown). 

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan BNPB dapat melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengurangi infeksi COVID-19 sebelum diambil tindakan movement restriction mau pun lockdown.

3. Dalam hal dibutuhkan tindakan yang lebih jauh lagi, Pemerintah Pusat cq. Menteri Kesehatan dapat menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (movement restriction) dahulu tanpa melakukan lockdown di daerah wabah dalam status darurat bencana tersebut.

4. Jika Pembatasan Sosial Berskala Besar dirasa masih belum cukup untuk menahan laju infeksi COVID-19 (atau setelah pemerintah pusat dan pemerintah daerah benar-benar siap menerapkan lockdown), maka sebagai ultimum remedium, Pemerintah Pusat cq. 

Menteri Kesehatan dapat menetapkan Karantina Wilayah (lockdown) di daerah wabah dalam status darurat bencana tersebut. Dalam hal ini, kebutuhan hidup dasar orang di wilayah karantina harus dijamin oleh pemerintah pusat dengan dibantu oleh pemerintah daerah, sebagaimana diamanatkan oleh UU Kekarantinaan Kesehatan.

UPDATE 20 MARET 2020

camilo-jimenez-vgu08ryjo-s-unsplash-5e74f4cc097f36495e7cb7e2.jpg
camilo-jimenez-vgu08ryjo-s-unsplash-5e74f4cc097f36495e7cb7e2.jpg
red vehicle in timelapse photography (Photo
by camilo jimenez on Unsplash)

Untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, status keadaan darurat bencana telah ditetapkan berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 337 Tahun 2020 Tanggal 20 Maret 2020. Dalam hal status keadaan darurat bencana (disaster emergency condition status) telah ditetapkan di DKI Jakarta, sesuai ketetentuan Pasal 50 UU Penanggulangan Bencana, BNPB dan BPBD Provinsi DKI Jakarta mempunyai kemudahan akses meliputi: (a) pengerahan sumber daya manusia; (b) pengerahan peralatan; (c) pengerahan logistik; (d) imigrasi, cukai, dan karantina; (e) perizinan; (f) pengadaan barang/jasa; (g) pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang; (h) penyelamatan; dan (i) komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.

Status keadaan darurat bencana di DKI Jakarta ini berlaku sejak tanggal 20 Maret 2020 s.d. 02 April 2020 dan dapat diperpanjang.

(TMD)

****END****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun