Mohon tunggu...
Sabda
Sabda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpen dan Puisi

Kesenangan semu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamar di Guantanamo

22 Desember 2021   13:17 Diperbarui: 22 Desember 2021   13:21 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menginjak lantai tanpa keramik yang dingin, entah mengapa gadis itu selalu duduk diatasnya. Angin yang lebih lembut daripada kamar sebelumnya. Kecil dan tak cukup kuat melerai rambutku yang kusut. Hanya dua helai atau lebih sedikit rambutku yang dihembus udara oleh anginnya. Tapi cukup untuk memberiku kesegaran.

Kamar ini sempit, ukurannya seperti dua kali lipat kamar mandi di kamarku. Entah mengapa aku merasa damai di kamar ini. Hingga tiba aku merasa perih dan darah mengucur di dadaku ku. Tanpa aku mengetahui apa sebabnya, warnanya terus menyebar hingga ke lengan kiriku. Aku pun terduduk diatas lantai membungkukkan badan untuk mengurangi rasa sakit. Mungkin ini yang gadis kecil itu rasakan.

" Nama kamar ini adalah Guantanamo. Sebuah dinding pembatas prinsip-prinsip orang yang mencari kedamaian dengan caranya sendiri." Suara itu terdengar dari gadis yang biasanya duduk disini.

"Dia tidak mengenal kecil, muda, dewasa atau tua. Dunia ini harus berjalan dalam ideologi yang mereka ciptakan sendiri tanpa mentolerir yang lain."

"Kakak, aku percaya kedamaian yang kakak fikirkan bisa dirasakan saudaraku yang lain. "

Aku menengadah sedikit ke arah gadis itu. Kali ini dia berdiri tegap melihat diriku yang tersungkur oleh rasa sakit. Angin semakin lama semakin kencang dan melerai kasar rambutku yang kusut. Dia tersenyum dengan mukanya yang hancur sejak pertama dia menunjukkan wajahnya.

" Kakak tahu dimana kedamaian yang menciptakan perih ? Palestina yang jauh dari negara kakak. Dan Guantanamo terpecil inilah aku beserta mujahidah lainnya mendekam pada kedamaian semu yang mereka ciptakan. Karena mereka membenci kedamaian yang kami tawarkan."

Hingga akhirnya kuterbangun dan tak pernah kembali. Itulah ingatan terakhir tentang kamar Guantanamo. Kamar ini memang penuh makna tanpa memberikan tafsir. Akupun tetap berlalu tanpa menghiraukan gadis yang bermuka hancur itu. Melewati hari nyataku tanpa ada bayangan tentang pesan yang gadis itu sampaikam. Tapi setidaknya, aku mengenal dua suku kata dalam hidupku. Palestina dan Guantanamo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun