Tepat, kuposisikan mata di lubang itu. Ternyata di balik kamar ini terdapat kamar lain. Dinding berwarna putih dan seranjang kasur yang rapi. Sepatu berjajar di bawah ranjang dan jendela kecil menerangi kamar itu. Terang yang kudapati dan bulan sangat bersinar terang walau hanya bulan sabit.
Tak kusadari, ada gadis kecil yang mempunyai rambut kusut sepertiku. Menelungkupkan wajahnya didalam tangan mungil. Kulitnya putih bersih. Duduk dilantai tanpa keramik. Seperti meringkih suara yang ia keluarkan.
"Guantanamo "
Suara yang mengagetkanku. Aku terperanjak ke arah belakang. Debu diatas piano itu sedikit tersibak oleh gerakanku yang spontan. Akupun batuk karena debu itu juga masuk ke hidung.
"kakak, tempat ini namanya Guantanamo "
Aku kembali merangkak kearah lubang kecil itu untuk memastikan apa yang terjadi di balik dinding ini. Anak kecil itu masih menelungkupkan wajahnya. Dan tetap mengeluarkan suara ringkihan.
"bisakah kakak membantuku ? sudah lama aku melihat kakak menatap laut biru tua di luar jendela. "
Aku tak menjawabnya, berbagai banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan padanya. Entah apapun itu tanpa mengerti apa yang harus kutanyakan. Aku hanya melihat gadis kecil itu dan suara ringkihannya. Hingga aku terbangun dari mimpi karena adzan shubuh. Suara muadzin di musholla seberang rumah.
***
      Malam ini aku kembali, setelah bermimpi berenang di pantai bersama teman lamaku yang berada di Lebanon. Tanpa penasaran ku menelusuri, dia hadir di mimpiku. Kami telah lama putus hubungan sejak lulus SMA, terakhir ku dengar dia menjadi relawan guru di gaza.
      Di kamar itu, suasana tak berubah. Selalu malam tanpa bulan. Dan lubang kecil itu tetap memancarkan cahaya terang yang tajam. Akupun melangkah kembali keatas piano. Merangkak untuk mendekati lubang.  Jauh dari pandangan, gadis kecil itu tak berubah posisi. Duduk di lantai tanpa keramik, menelungkupkan wajahnya dengan tangan. Aku memincingkan mata, kali ini kulihat ada darah yang menembus bahu kanan. Menyebar sedikit luas hingga ke punggungnya