Mohon tunggu...
Sabda
Sabda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpen dan Puisi

Kesenangan semu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamar di Guantanamo

22 Desember 2021   13:17 Diperbarui: 22 Desember 2021   13:21 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/putus-asa-sedih-murung-kaki-tangan-2293377/

Malam ini aku kembali pada tempat itu. Jauh dari alam mimpi yang selalu ku fikirkan setiap malam sebelum tidur. Tepat sepuluh menit sebelum adzan subuh. Aku akan selalu kembali ke tempat itu. Sebuah latar yang hanya bisa kujelaskan tanpa tafsir. Tanpa kubisa mengerti maksud setiap mimpi yang sama. Sebuah suasana yang kelam tidak disertai penjelasan.

Meskipun aku bermimpi sedang apapun itu, bermain di taman kesukaaanku atau terbang di langit dengan sayap yang ku imajinasikan. Seperti sebelumnya, tepat sepuluh menit sebelum adzan subuh. Aku akan kembali pada tempat yang sama. Berulang kali dan sesalu melakukan hal yang sama ditempat itu.

Apa kau ingin tahu ? itu bukanlah tempat yang indah, tidak pula tempat yang suram seperti hutan belantara berisi hewan tak saling mengenal. Hanya sebuah kamar kecil, lebih kecil dari kamarku. Yang diisi ranjang double king dan lemari besar berpintu dua. Belum lagi ada meja hias dan rak buku di sebelah kanan pintu. 

Kamar itu hanya diisi oleh piano besar yang tak pernah kusentuh. Terletak di ujung kanan.

Dinding putih dengan bekas goresan tangan berwarna hitam tanpa pewarna lain. Melukiskan kesenian yang hampa dalam kamar itu. Disebelah kiri tempat di mana aku selalu berdiri ada jendela yang terbuka satu pintu. Sedangkan pintu satunya tertutup tanpa adanya kunci. Di situ aku sering melihat laut yang berwarna biru tua. Angin sepoi melerai rambutku yang kusut.

Sering kukatakan tempat terakhir dalam mimpi, sendiri menikmati laut. Tak ada yang kufikirkan di sana. Hanya melihat laut biru dan angin. Tak ada perasaan istimewa, seperti ruangan yang hampa. Tak ada pula keinginan untuk cepat pulang, menikmati aroma disetiap sudut yang memberiku ketenangan.

Hanya saja, ada satu hal yang tak ingin ku ketahui. Sebuah lubang kecil di dinding yang menghadap piano. Itulah mengapa aku tak pernah bermain piano di sana. Mataku terlalu takut menatap langsung lubang kecil itu, yang berdiamter tak lebih seperti uang koin lima ratus rupiah.

***

Sudah seminggu sejak kuceritakan kamar itu kepadamu, entah kenapa sore tak lagi berada dalam pandanganku.  Selalu saja aku melihat malam di jendela, tapi angin masih temaniku melerai rambut yang selalu kusut. Kamar ini menjadi gelap, tanpa bulan. Dan lubang kecil itulah yang menjadi cahanya dikamar ini. Membentuk garis yang tajam kearah sisi yang berlawanan. Tak terlintas dibenakku untuk mengetahui apa yang dibalik lubang itu.

Aku tetap saja melihat diluar jendela samar ada laut biru tua. .Hingga pada mimpiku malam ini, aku berjalan ke arah lubang kecil itu. terasa mata ini haus akan cahaya sehingga mendorongku pada cahaya itu. K umelangkah dari jendela setelah lima menit berdiri tanpa bisa melihat diluar karena gelap.

Karena berada di dinding yang dihadapi oleh piano, aku harus naik ke atas piano untuk melihat lubang kecil itu. Kursi yang menjadi dudukannya sedikit rapuh dengan mengeluarkan suara saat ku menaikinya. Ketika tanganku menyentuh piano terasa sekali debu yang tebal. Kumerangkat diatas piano menuju lubang kecil itu. Semakin kumendekat, cahaya mulai meredup. Entah mengapa aku semakin cepat ke arah lubang kecil itu sebelum kufikir cahaya akan hilang.

Tepat, kuposisikan mata di lubang itu. Ternyata di balik kamar ini terdapat kamar lain. Dinding berwarna putih dan seranjang kasur yang rapi. Sepatu berjajar di bawah ranjang dan jendela kecil menerangi kamar itu. Terang yang kudapati dan bulan sangat bersinar terang walau hanya bulan sabit.

Tak kusadari, ada gadis kecil yang mempunyai rambut kusut sepertiku. Menelungkupkan wajahnya didalam tangan mungil. Kulitnya putih bersih. Duduk dilantai tanpa keramik. Seperti meringkih suara yang ia keluarkan.

"Guantanamo "

Suara yang mengagetkanku. Aku terperanjak ke arah belakang. Debu diatas piano itu sedikit tersibak oleh gerakanku yang spontan. Akupun batuk karena debu itu juga masuk ke hidung.

"kakak, tempat ini namanya Guantanamo "

Aku kembali merangkak kearah lubang kecil itu untuk memastikan apa yang terjadi di balik dinding ini. Anak kecil itu masih menelungkupkan wajahnya. Dan tetap mengeluarkan suara ringkihan.

"bisakah kakak membantuku ? sudah lama aku melihat kakak menatap laut biru tua di luar jendela. "

Aku tak menjawabnya, berbagai banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan padanya. Entah apapun itu tanpa mengerti apa yang harus kutanyakan. Aku hanya melihat gadis kecil itu dan suara ringkihannya. Hingga aku terbangun dari mimpi karena adzan shubuh. Suara muadzin di musholla seberang rumah.

***

            Malam ini aku kembali, setelah bermimpi berenang di pantai bersama teman lamaku yang berada di Lebanon. Tanpa penasaran ku menelusuri, dia hadir di mimpiku. Kami telah lama putus hubungan sejak lulus SMA, terakhir ku dengar dia menjadi relawan guru di gaza.

            Di kamar itu, suasana tak berubah. Selalu malam tanpa bulan. Dan lubang kecil itu tetap memancarkan cahaya terang yang tajam. Akupun melangkah kembali keatas piano. Merangkak untuk mendekati lubang.  Jauh dari pandangan, gadis kecil itu tak berubah posisi. Duduk di lantai tanpa keramik, menelungkupkan wajahnya dengan tangan. Aku memincingkan mata, kali ini kulihat ada darah yang menembus bahu kanan. Menyebar sedikit luas hingga ke punggungnya

" Apa yang kakak fikirkan tentang kedamaian ?" Dia bertanya

            Kali ini aku tidak hanya diam, aku sudah bisa mengontrol hal-hal yang diluar kendaliku. Aku juga tidak ingin mimpiku kali ini batuk karena debu.

" Apa yang aku fikirkan ? Mungkin sebuah ketenangan. Jauh dari banyak orang, tanpa adanya perdebatan, semua jalan sesuai yang aku rencankan dan oh tidak, kedamaian bagiku disaat aku bersama orang-orang ku cintai" Kumenjawab dari balik dinding ini.

" Apa rasa damai itu bisa menciptakan perih ?" Tanyanya lagi

" Tidak akan bisa , bukannya damai dan rasa perih itu berlawanan ?"

" Lalu mengapa aku merasa damai walau tubuhku ini perih oleh luka ?"

            Di mengangkat wajahnya, wajah yang bersinar tapi dengan darah yang mengalir dari mata yang terpejam. Hidungnya tak mempunyai tulang sehingga terlihat dengan jelas lubang pernapasannya. Tapi mulutnya tersenyum dengan manis walau bercampur oleh merah darah dari matanya. Aku kembali tersentak dan berjalan mundur. Aku tak bisa melihatnya lagi.

" Apa kakak ingin tahu seperti rasanya. Aku tak akan memberikan penderitaanku ini, tapi aku  ingin kakak merasakan seperti apa damai yang kurasa."

Suara terdengar meskipun aku sudah berjalan mundur menjauhi lubang itu. ku dengar dia menangis disertai suara ringkihan. Sepertinya dia lelah untuk mengadu pada siapa yang hendak diadu. Aku melangkahkan kaki ke arah lubang itu kembali. Tapi dilangkah kedua aku terbangun karena adzan subuh membelaiku untuk kembali.

***

Sejak kejadian itu aku tak lagi memimpikan kamar, lubang kecil dan gadis dengan wajah hancur itu. Aku menjalani mimpi yang normal, tentang impian, imajinasi ataupun masa lalu yang terulang . Tapi sedikt cerita untukmu, sebelum aku benar-benar tak kembali. Malam itu, tepat hari kamis malam. Aku berdiri di dalam kamar gadis tersebut.

Menginjak lantai tanpa keramik yang dingin, entah mengapa gadis itu selalu duduk diatasnya. Angin yang lebih lembut daripada kamar sebelumnya. Kecil dan tak cukup kuat melerai rambutku yang kusut. Hanya dua helai atau lebih sedikit rambutku yang dihembus udara oleh anginnya. Tapi cukup untuk memberiku kesegaran.

Kamar ini sempit, ukurannya seperti dua kali lipat kamar mandi di kamarku. Entah mengapa aku merasa damai di kamar ini. Hingga tiba aku merasa perih dan darah mengucur di dadaku ku. Tanpa aku mengetahui apa sebabnya, warnanya terus menyebar hingga ke lengan kiriku. Aku pun terduduk diatas lantai membungkukkan badan untuk mengurangi rasa sakit. Mungkin ini yang gadis kecil itu rasakan.

" Nama kamar ini adalah Guantanamo. Sebuah dinding pembatas prinsip-prinsip orang yang mencari kedamaian dengan caranya sendiri." Suara itu terdengar dari gadis yang biasanya duduk disini.

"Dia tidak mengenal kecil, muda, dewasa atau tua. Dunia ini harus berjalan dalam ideologi yang mereka ciptakan sendiri tanpa mentolerir yang lain."

"Kakak, aku percaya kedamaian yang kakak fikirkan bisa dirasakan saudaraku yang lain. "

Aku menengadah sedikit ke arah gadis itu. Kali ini dia berdiri tegap melihat diriku yang tersungkur oleh rasa sakit. Angin semakin lama semakin kencang dan melerai kasar rambutku yang kusut. Dia tersenyum dengan mukanya yang hancur sejak pertama dia menunjukkan wajahnya.

" Kakak tahu dimana kedamaian yang menciptakan perih ? Palestina yang jauh dari negara kakak. Dan Guantanamo terpecil inilah aku beserta mujahidah lainnya mendekam pada kedamaian semu yang mereka ciptakan. Karena mereka membenci kedamaian yang kami tawarkan."

Hingga akhirnya kuterbangun dan tak pernah kembali. Itulah ingatan terakhir tentang kamar Guantanamo. Kamar ini memang penuh makna tanpa memberikan tafsir. Akupun tetap berlalu tanpa menghiraukan gadis yang bermuka hancur itu. Melewati hari nyataku tanpa ada bayangan tentang pesan yang gadis itu sampaikam. Tapi setidaknya, aku mengenal dua suku kata dalam hidupku. Palestina dan Guantanamo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun