" Apa yang kakak fikirkan tentang kedamaian ?" Dia bertanya
      Kali ini aku tidak hanya diam, aku sudah bisa mengontrol hal-hal yang diluar kendaliku. Aku juga tidak ingin mimpiku kali ini batuk karena debu.
" Apa yang aku fikirkan ? Mungkin sebuah ketenangan. Jauh dari banyak orang, tanpa adanya perdebatan, semua jalan sesuai yang aku rencankan dan oh tidak, kedamaian bagiku disaat aku bersama orang-orang ku cintai" Kumenjawab dari balik dinding ini.
" Apa rasa damai itu bisa menciptakan perih ?" Tanyanya lagi
" Tidak akan bisa , bukannya damai dan rasa perih itu berlawanan ?"
" Lalu mengapa aku merasa damai walau tubuhku ini perih oleh luka ?"
      Di mengangkat wajahnya, wajah yang bersinar tapi dengan darah yang mengalir dari mata yang terpejam. Hidungnya tak mempunyai tulang sehingga terlihat dengan jelas lubang pernapasannya. Tapi mulutnya tersenyum dengan manis walau bercampur oleh merah darah dari matanya. Aku kembali tersentak dan berjalan mundur. Aku tak bisa melihatnya lagi.
" Apa kakak ingin tahu seperti rasanya. Aku tak akan memberikan penderitaanku ini, tapi aku  ingin kakak merasakan seperti apa damai yang kurasa."
Suara terdengar meskipun aku sudah berjalan mundur menjauhi lubang itu. ku dengar dia menangis disertai suara ringkihan. Sepertinya dia lelah untuk mengadu pada siapa yang hendak diadu. Aku melangkahkan kaki ke arah lubang itu kembali. Tapi dilangkah kedua aku terbangun karena adzan subuh membelaiku untuk kembali.
***
Sejak kejadian itu aku tak lagi memimpikan kamar, lubang kecil dan gadis dengan wajah hancur itu. Aku menjalani mimpi yang normal, tentang impian, imajinasi ataupun masa lalu yang terulang . Tapi sedikt cerita untukmu, sebelum aku benar-benar tak kembali. Malam itu, tepat hari kamis malam. Aku berdiri di dalam kamar gadis tersebut.