Entah dia bisa membaca pikiranku atau tidak, tapi aku benar-benar merasa bahwa kalimat itu tepat sasaran. Di saat aku mulai menepis rayuannya dengan pikiran negatif, tiba-tiba saja dia mengatakan sesuatu tentang pikiran jahat dan kebenaran.
Kembali kutatap susu di cangkir. Kali ini bukan karena tersipu, tapi karena merasa bersalah. Dia tidak melakukan sesuatu yang jahat padaku, kenapa aku malah menghinanya. Aku belum berani menanyakan yang ketiga. Mungkin lebih baik menjadi misteri daripada pikiranku semakin kacau.
“Yang ketiga,” suaranya terdengar tanpa kuminta.
Aku menarik napas dalam-dalam, menyiapkan batin untuk yang selanjutnya.
“Hitam juga bisa berarti sesuatu yang belum terungkap, misteri. Biasanya manusia lebih suka membiarkan sesuatu tidak terungkap daripada menghadapinya.”
Suara tawa lepasku tiba-tiba menutupi melodi air hujan. Dia benar-benar mengalahkanku, tapi aku senang dengan kekalahan ini. Kali ini kutatap dia tanpa ragu, bahkan perasaan gugup pun tiba-tiba hilang. Dia memasang senyum menggoda yang bagiku sangat menarik.
“Jadi?” katanya “Apa yang kau pikirkan bila mendengar kata ‘hitam’?”
Sekarang aku bisa menjawabnya. “Hitam adalah warna yang menjadi pasangan warna putih.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H