Satu per satu titik air jatuh di balik kaca jendela, menciptakan melodi hujan yang menenangkan jiwa. Apa pun yang terjadi aku tidak pernah membenci hujan, yang kubenci adalah situasi. Biasanya di waktu ini aku sudah dalam perjalanan pulang, berdiri berdesak-desakkan di dalam bus kota yang penuh dengan bau tak sedap. Tapi kali ini karena tidak membawa payung, aku terpaksa menunggu hujan reda di sebuah kafe.
Untungnya aku tidak sendiri. Seorang lelaki datang dan meletakkan secangkir kopi di meja. Warna hitam kopinya sangat mencolok bila dibanding dengan kemeja putih yang dia kenakan.
"Black Coffee," dia menjawab sebelum aku sempat bertanya jenis kopinya.
Kami sama-sama korban dari situasi, menghindari titik-titik air di luar yang turun dengan deras. Setidaknya alasan itu yang dia katakan sebelum menemaniku di kafe ini.
Suasana damai yang entah kenapa membuatku sedikit gugup. Kencan? Sepertinya bukan. Aku yakin dia sama sepertiku, hanya memikirkan kapan hujan reda. Dia meneguk kopinya setelah aku menyesap susu hangat milikku.
“Suka Black Coffe?” Aku tidak menyangka dia bisa menegak minuman pahit itu dengan nikmat. “Bisa membuatmu tidak tidur nanti malam.”
“Hanya suka warnanya.”
“Apa hubungannya? Warna tidak menunjukkan rasa atau kasiat.”
Dia meletakkan cangkir kopinya. “Apa yang kau pikirkan bila mendengar kata ‘hitam’?”
Aku sama sekali tidak menduga dia akan balik bertanya. Apa dia selalu memilih makanan atau minuman berdasarkan warna?
“Entah. Mungkin salah satu jenis warna. Kau sendiri? Apa yang kau pikirkan?”
“Banyak.”
Jawaban singkat-jelas-padat-tidak memuaskan.
“Berapa banyak? Contohnya?”
“Aku bisa menyebutkan tiga.” Dia meneguk kopi lagi lalu meletakkan cangkirnya yang hampir kosong.
“Pertama?”
Kedua matanya menatapku lekat seakan pandangannya terkunci pada wajahku. “Hitam adalah warna yang bisa mengungkapkan keindahan.”
Dia diam sesaat, membiarkan raut wajahku berubah menagih penjelasan.
“Seperti yang kulihat sekarang.” Dia memasang senyum. “Wajahmu terlihat menarik di antara rambut hitam yang panjang.”
Saat mengerti maksudnya, aku segera menatap susu di depanku, berharap supaya wajahku tidak tersipu. Sepertinya berhasil, aku tidak merasakan wajahku panas.
Dasar laki-laki! Selalu mengatakan rayuan gombal bila ada kesempatan. Dia pasti senang melihatku salah tingkah, dan di akhir dia akan menertawakanku.
“Yang kedua?” aku meliriknya dan menyiapkan diri menghadapi rayuan gombal berikutnya.
Masih menatapku lekat, “Yang kedua, hitam berarti pikiran negatif atau jahat. Biasanya manusia lebih bisa menerima hal-hal negatif meski sebenarnya yang positif mengungkapkan kebenaran.”
Entah dia bisa membaca pikiranku atau tidak, tapi aku benar-benar merasa bahwa kalimat itu tepat sasaran. Di saat aku mulai menepis rayuannya dengan pikiran negatif, tiba-tiba saja dia mengatakan sesuatu tentang pikiran jahat dan kebenaran.
Kembali kutatap susu di cangkir. Kali ini bukan karena tersipu, tapi karena merasa bersalah. Dia tidak melakukan sesuatu yang jahat padaku, kenapa aku malah menghinanya. Aku belum berani menanyakan yang ketiga. Mungkin lebih baik menjadi misteri daripada pikiranku semakin kacau.
“Yang ketiga,” suaranya terdengar tanpa kuminta.
Aku menarik napas dalam-dalam, menyiapkan batin untuk yang selanjutnya.
“Hitam juga bisa berarti sesuatu yang belum terungkap, misteri. Biasanya manusia lebih suka membiarkan sesuatu tidak terungkap daripada menghadapinya.”
Suara tawa lepasku tiba-tiba menutupi melodi air hujan. Dia benar-benar mengalahkanku, tapi aku senang dengan kekalahan ini. Kali ini kutatap dia tanpa ragu, bahkan perasaan gugup pun tiba-tiba hilang. Dia memasang senyum menggoda yang bagiku sangat menarik.
“Jadi?” katanya “Apa yang kau pikirkan bila mendengar kata ‘hitam’?”
Sekarang aku bisa menjawabnya. “Hitam adalah warna yang menjadi pasangan warna putih.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H