"Kalau mereka tak boleh hadir, maka..." Vania mencoret satu demi satu nama-nama undangan Dimikri.Â
"Ini!" Vania melemparkan lembaran-lembaran kertas berisi daftar undangan tepat ke muka Dimikri.
"Nama-nama itu tak boleh menginjakkan kakinya di gedung! Vania tak rela," ujarnya setengah menjerit. Vania meremas tangan Dimikri. Dimikri menepis tangan Vania.
Ruangan tengah yang luas dan berpendingin itu mulai terasa panas dan sempit. Kedua kekasih terlibat perseteruan hebat. Tinah, pembantu Vania, satu-satunya orang yang menemani mereka sejak tadi tak berani ikut campur.Â
Tinah ngeri melihat seorang gadis cantik sikapnya berubah menjadi Mak Lampir dan lelaki gagah itu kelakuannya mirip Genderuwo. Kedua mata mereka mendelik, mulut mereka monyong maksimal. Tangan-tangan terkepal siap adu jotos.Â
Tinah pasrah, ia tak berani melerai, sedikit demi sedikit menggeser posisi duduknya dan menjauhi kedua sejoli yang kini hendak berperang. Jantungnya berdebar kencang. Kartu-kartu undangan yang tadinya bertumpuk rapi kini berseliweran menjadi senjata mereka berdua. Saling lempar.
"Nih, rasakan!" seru Vania kesal. Dua buah kartu undangan melayang menuju leher Dimikri. Tangan kiri Dimikri sigap menangkis dan tangan kanannya mengeluarkan amunisi lima buah kartu. Beruntun. Satu kartu tepat melayang ke muka Vania tanpa sempat dihalau.
"Gila!" Vania menjerit.Â
"Beraninya sama perempuan ya! Makan nih!" Vania berteriak sambil melempar satu kartu undangan sekuat tenaganya.
Persis ujung kartu mengenai mata Dimikri.
"Kampreeet!" teriak Dimikri dengan suara menggelegar.
"Cebooong!" timpal Vania tak kalah keras. Suara Vania memang terdengar seperti auman singa.Â