Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit pun Bertabik, Pak Guru! (2)

25 November 2018   11:48 Diperbarui: 25 November 2018   12:28 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini ia teringat alamat Fitria, rumahnya di Jatinegara Jakarta Timur. Rasanya tak salah bila ia berkunjung ke sana karena Fitria juga guru bantu bagi anak tuna rungu. Setidaknya mereka satu profesi. Senasib.

Satu jam mereka berbincang, mereka jadi tahu banyak hal tentang kehidupan masing-masing. Fitria ternyata wanita dengan mata dan hati yang terbuka. Wanita pejuang yang tak pernah mengalah pada keadaan. Ia membentuk keadaan agar sesuai dengan keinginannya. Ia wanita yang penuh inspirasi. Nana mengagumi sosok Fitria walaupun memiliki keterbatasan namun ia bisa menjadi pemenangnya.

Saat Nana asyik dengan lamunannya, ia mendengar orang ribut berteriak-teriak di jalanan berupa  gang yang tak terlampau ramai. 

"Maling... Maling!" Teriak seorang ibu hamil sambil melambaikan tangan ke arah laki-laki berperawakan sedang dan berjaket kulit hitam. 

Nana sadar, itu maling yang dimaksud ibu tadi. Segera Nana menghadang lelaki berparas sangar dan bertato. Tanpa ragu Nana menendangnya dengan sekuat tenaga. Tubuh lelaki itu terlontar dan tas yang di bawanya terlepas. Jatuh ke parit kecil tak berair disampingnya.

Lelaki sangar itu bangkit dan menghunuskan pisau yang sengaja ia bawa dipinggangnya. Nana menghindar namun belati justru tertancap tepat dijantungnya.

Pandangan mata Nana kabur, sesaat ia melihat bayangan ayah ibunya tersenyum  bahagia. Wajah mereka nampak sangat muda sepertinya Nana ingat itu saat ia baru berusia enam tahun dan pertama kalinya bersekolah.

Langit berubah menjadi abu-abu padahal tadi hari masih terik belum pukul dua belas. Dalam pandangan Nana perlahan langit menghitam dan rasa sesak didadanya seperti tertimpa ber ton beban perlahan terangkat. Dari mulutnya yang mengucurkan darah segar, Nana berucap  "Tuhanku terimalah pengabdianku. La... Ilaa ha ilallaah..."

Hembusan nafas terakhirnya disertai jerit tangis ibu hamil dan keharuan yang menyeruak dari orang-orang sekeliling yang berusaha menolongnya meringkus maling yang telah membunuh Nana dengan kejam.

~~~

"...sebuah perjalanan telah sampai tujuan. Seseorang telah kembali keharibaan-Nya dengan jalan terbaiknya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun