Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit pun Bertabik, Pak Guru! (2)

25 November 2018   11:48 Diperbarui: 25 November 2018   12:28 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekali lagi ditatapnya kartu nama Karta Sawitra. Sebenarnya apa janji bapak? Siapa dia? Mengapa bapak tak pernah bercerita apapun tentang sahabatnya ini?

Begitu banyak tanya di kepala Nana. Akhirnya ia putuskan meminta ijin kepada Pak Kepala Sekolah selama dua hari untuk menemui Karta Sawitra.

~~~

Pintu rumah sudah terkunci, lampu-lampu sudah dipadamkan. Nana berkeliling untuk memastikan apa masih ada jendela yang terbuka, setelah beberapa menit memeriksa rumahnya kemudian ia berdiri sejenak di makam ayah dan ibu untuk mempersembahkan do'a. Disentuhnya nisan keduanya dan Nana melafalkan surat Al-Qadr dengan tartil. 

"Aku penuhi amanatmu wahai ayah dan ibu, semoga Allah mengampuni dan memberikan tempat terbaik, surga yang penuh kenikmatan. Aamiin." Do'a Nana dengan suara setengah berbisik penuh syahdu.

Nana menyandang ransel ditangan kirinya. Di tangan kanannya ia genggam kartu nama yang berwarna putih kekuningan. Ia menarik nafas panjang dan melangkahkan kaki ke luar pagar perlahan.

"Bismilahirrahmanirrahiim..." Desah Nana memantapkan hatinya untuk pergi. Ia tak tahu apa yang akan ditemuinya nanti.

Sudah hampir enam jam dalam Bis yang membawa Nana menuju Jakarta. Pantatnya terasa pegal dan panas. Bis penuh sesak. Panas matahari di luar menembus jendela kaca dan mengalahkan AC yang dipasang full. Hampir semua orang mengeluhkan macet yang terjadi hampir dua kilo meter. Bis berjalan merayap, rasanya lebih cepat sampai jika ia jalan kaki.

Nana berusaha tak mengeluh, ia telah berjanji untuk menikmati semua kejadian dalam perjalanan dengan hati yang lapang. Ada sedikit yang melegakan, disebelahnya duduk seorang gadis manis yang menurut Nana sangat penyabar, tidak pernah mengeluh meski terlihat letih. Gadis itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya jika mata mereka bersiborok. Enam jam! Dan tak ada sepatah kata pun terucap. 

Sebenarnya Nana berniat menyapa terlebih dulu namun ia tak ingin dianggap kurang ajar. Ia sebisa mungkin menjaga sikap agar tak ada seorang pun yang tersinggung atau tersakiti. 

Kebetulan sekali kacamata yang sedang digenggam gadis itu terjatuh saat ia tertidur. Nana dengan sigap mengangkat dan memindahkannya di celah tempat duduk. Gadis itu membuka matanya merasakan ada gerakan yang membuatnya tersadar dari tidurnya. 

Buru-buru Nana menyapa dan menjelaskan, "Ma'af mbak... Tadi kacamatanya terjatuh, jadi saya pindahkan. Ini!" 

Nana berujar sembari menunjuk kacamata dengan ibu jarinya.

"Oh ya siapa nama mbak? Perkenalkan saya Nana Suryana." Tangan Nana ditangkupkan ke dadanya. Ia berusaha bersikap sesantun mungkin. 

Alih-alih menjawab pertanyaan Nana, gadis itu malah tersenyum lebar dan mengangkat kedua jempolnya. Ia celingukan mencari sesuatu. Gadis itu menunjuk pulpen yang terselip di saku bajunya. 

Nana dengan sigap menyerahkan pulpen ke tangan gadis itu. Ia mencoret telapak tanggan dengan beberapa huruf. 

Tangan mungil dan halus itu dibuka lebar-lebar dan dihadapkan ke arah Nana segera.

"Oh, Mbak Fitria!" Seru Nana

Fitria tersenyum dan menganggukkan kepalanya berulang kali.

"Salam  kenal." Nana tersenyum. Hanya itu yang sanggup ia perbuat. Ternyata Fitria bisu. 

Luar biasa! Pantas saja dari tadi tidak ada sepatah kata pun terlontar padahal beberapa kali Fitria menatap tajam ke arah dirinya. 

Nana menghela nafas, ia pikir gadis ini cukup berani berpergian sendirian dengan kondisi seperti itu.

Akhirnya Nana dan Fitria berkomunikasi dengan memakai tulisan. Nana bertanya seperti biasa, Fitria menjawabnya dengan tulisan. Unik juga. 

Setelah tujuh jam perjalanan, Bis Marina Jaya tiba di terminal Kampung Rambutan. Nana berharap perjalanan selanjutnya tidak memakan waktu lama. Alamat yang di tuju Karang Anyar, Jl. A Jakarta Pusat. 

Beruntung sekali, Nana dengan mudah menemukan rumah yang dituju. Rumah berpagar besi berwarna hitam nampak paling besar diantara sederetan rumah kecil yang tak beraturan letaknya.

"Bapak sudah lama berpulang, tujuh tahun lalu." Jawab seorang ibu muda berumur tiga puluh tahunan. 

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun..." Nana berucap pelan sambil menundukkan mukanya. 

"Saya Wening, anak tertua Bapak Karta. Sepanjang pengetahuan saya, bapak tak pernah bilang apa-apa tentang janji atau teman bapak bernama Rahmat Rochimat." Sahut Wening sambil berusaha mengingat kembali kejadian bertahun silam. 

"Sudahlah, apapun yang terjadi, saya anak tertuanya sudah memberikan saksi bahwa janji bapakmu sudah dipenuhi." Wening berusaha menenangkan perasaan tamunya. 

Wening menghargai perjuangan Nana hingga sampai kemari. 

"Adakah yang hendak disampaikan lagi? Atau keperluan lain?" Tanya Wening sambil mempersilakan Nana minum teh yang baru saja dihidangkan.

Nana hanya menggelengkan kepala. Ia berharap Bu Wening benar. Janji ayahnya telah dilunasi. 

Nana berterima kasih dan berpamitan. Ia menitipkan alamatnya pada Bu Wening agar bisa menghubunginya, siapa tahu beliau berubah pikiran.

Kini ia teringat alamat Fitria, rumahnya di Jatinegara Jakarta Timur. Rasanya tak salah bila ia berkunjung ke sana karena Fitria juga guru bantu bagi anak tuna rungu. Setidaknya mereka satu profesi. Senasib.

Satu jam mereka berbincang, mereka jadi tahu banyak hal tentang kehidupan masing-masing. Fitria ternyata wanita dengan mata dan hati yang terbuka. Wanita pejuang yang tak pernah mengalah pada keadaan. Ia membentuk keadaan agar sesuai dengan keinginannya. Ia wanita yang penuh inspirasi. Nana mengagumi sosok Fitria walaupun memiliki keterbatasan namun ia bisa menjadi pemenangnya.

Saat Nana asyik dengan lamunannya, ia mendengar orang ribut berteriak-teriak di jalanan berupa  gang yang tak terlampau ramai. 

"Maling... Maling!" Teriak seorang ibu hamil sambil melambaikan tangan ke arah laki-laki berperawakan sedang dan berjaket kulit hitam. 

Nana sadar, itu maling yang dimaksud ibu tadi. Segera Nana menghadang lelaki berparas sangar dan bertato. Tanpa ragu Nana menendangnya dengan sekuat tenaga. Tubuh lelaki itu terlontar dan tas yang di bawanya terlepas. Jatuh ke parit kecil tak berair disampingnya.

Lelaki sangar itu bangkit dan menghunuskan pisau yang sengaja ia bawa dipinggangnya. Nana menghindar namun belati justru tertancap tepat dijantungnya.

Pandangan mata Nana kabur, sesaat ia melihat bayangan ayah ibunya tersenyum  bahagia. Wajah mereka nampak sangat muda sepertinya Nana ingat itu saat ia baru berusia enam tahun dan pertama kalinya bersekolah.

Langit berubah menjadi abu-abu padahal tadi hari masih terik belum pukul dua belas. Dalam pandangan Nana perlahan langit menghitam dan rasa sesak didadanya seperti tertimpa ber ton beban perlahan terangkat. Dari mulutnya yang mengucurkan darah segar, Nana berucap  "Tuhanku terimalah pengabdianku. La... Ilaa ha ilallaah..."

Hembusan nafas terakhirnya disertai jerit tangis ibu hamil dan keharuan yang menyeruak dari orang-orang sekeliling yang berusaha menolongnya meringkus maling yang telah membunuh Nana dengan kejam.

~~~

"...sebuah perjalanan telah sampai tujuan. Seseorang telah kembali keharibaan-Nya dengan jalan terbaiknya."


(Catatan kecil Nana Suryana)
25 November 2017

Deden membacakan paragraf terakhir sebuah kisah yang ditulis oleh guru tercintanya almarhum Nana Suryana. 

Ia berteriak penuh duka, "Langit pun bertabik, untukmu Pak Guru!

Tamat

Link sebelumnya
https://www.kompasiana.com/temaliasih/5bf92071bde575304d68f392/langitpun-bertabik-pak-guru

Bandung, 25 November 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun