"Saya Bambang Wiguna, teman sekampus Kinasih, Bu!" Jawab Bambang sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Ibunda Kinasih tersenyum, "Ah ya, sudah ibu duga. Duduklah! Tunggu sebentar."
Bambang merasa nyaman sekali berada di rumah kecil ini, berantakan memang, banyak tumpukan kain yang baru dilipat dan mainan anak-anak di atas meja dan kursi. Begitu juga tumpukan buku di rak kecil yang kelebihan beban, tak beraturan. Namun rumah kecil ini nampak bersih. Aura rumah yang menawarkan kedamaian dan kehangatan keluarga.
Udara segar masuk dari jendela nako dan pintu rumah yang agaknya jarang ditutup. Suasana rumah terasa lengang, Bambang tak menemukan kelima adik Kinasih juga Ayahnya.
Berbeda jauh dengan kondisi rumahnya, teramat lega namun selalu tertutup rapat. Pintu pagarpun memakai grendel super besar padahal sudah ada pos satpam yang berjaga dua puluh empat jam. Ada dua orang satpam yang bergantian setiap hari.
Rumahnya memang tenang namun terlampau tenang hingga membuatnya kesepian. Bambang jadi jarang di rumah. Ayah dan ibunya juga sering pergi keluar kota berhari-hari. Sebuah keluarga kecil namun jarang bertemu. Hanya ia dan adik perempuannya yang masih sering saling menyapa. Itupun kadang basa-basi saja.
"Lama menunggu ya? Ma'af Tadi baru selesai shalat Ashar. Terima kasih sudah bersedia datang kemari." Ujar Kinasih sambil tersenyum manis.
Bambang keheranan, wajah Kinasih nampak lembut dan sumringah. Tidak seperti biasanya. Memang nampak makin kurus dan masih pucat.
"Ah, tak apa, saya hanya mampir sebentar untuk melihat keadaanmu."
"Rumahmu sepi. Kemana adik-adikmu?" Tanya Bambang penasaran.
"Ma'af juga tak membawa apapun. Seharusnya saya beli buah-buahan ya?" Bambang membalas senyum Kinasih. Hatinya kini berdegup kencang. Kinasih nampak cantik dengan balutan baju kaus dan celana jeans.Â