Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebening Mata Kinasih

20 November 2018   08:09 Diperbarui: 20 November 2018   08:30 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muka pandir Kinasih tertangkap jepretan kamera Bambang Wiguna. Bambang girang luar biasa, melihat ekspresi wajah melongo Kinasih yang bisa ia manfaatkan untuk mempermalukannya di depan teman kampusnya yang lain. 

Bambang kesal luar biasa pada Kinasih setiap sehabis beradu mulut dengan gadis itu. Tidak seperti namanya yang seharusnya penuh kasih, kata-katanya selalu saja tajam walaupun banyak benarnya. Apapun alasan yang dikemukakan olehnya selalu saja bisa dibantah sempurna oleh Kinasih.

Anehnya Kinasih selalu bisa menarik perhatian teman kampusnya untuk membelanya sekaligus merendahkan lawan bicaranya siapapun itu. Gegara acara debat di kampus yang dimenangkan oleh Kinasih, gelar bergengsi Ratu Debat yang jatuh ketangannya seakan menegaskan bahwa Kinasih wanita yang luar biasa.

Padahal kenyataannya, Kinasih cuma anak buahnya di Senat Mahasiswa tanpa jabatan berarti. Bila terus begini ada kemungkinan besar Kinasih bakal menggeser posisinya. 

"Lif! Coba kamu perhatikan foto ini!" Seru Bambang sembari menyodorkan gawai dalam genggamannya. 

Alif mengerutkan kening dan menekuk bibirnya sambil berujar, "Jelek amat! Ini Kinasih kan?"

"Betul! Aku akan mencetaknya besar-besar dan setelah itu dipajang di Mading untuk diberi judul wajah asli Ratu Debat! Cocok, kan?" Jawab Bambang bersemangat.

"Hei, kalau orang tahu kau yang majang foto ini, kau nampak konyol nanti. Mosok! Ketua benci bawahan, rasanya tidak fair!" Sahut Alif dengan kening yang semakin berkerut.

"Lalu, apa saranmu?" Bambang balik bertanya.

"Pajang saja di kamarmu, siapa tahu malah jadi jodoh!" Seru Alif sambil tersenyum simpul. 

Bambang cemberut. Solusi yang tidak pas sama sekali. Mana mungkin naksir dengan perempuan super cerewet. Eh, Kinasih bukan cerewet tapi kata-katanya kadang tanpa tedeng aling-aling. Kadang kala menyakitkan padahal apa yang dibahasnya sangat aktual dan inspiratif.

Masih terngiang ditelinganya saat Kinasih memprotes kebijakan bahwa kampus ini harus mendukung salah satu Calon Presiden untuk periode 2019-2024 mendatang. Kebetulan yang ditawarkannya adalah capres yang telah memberikan dana bantuan untuk kegiatan kampus sebesar satu milyar.

"Kampus itu seharusnya netral Bung! Tidak ada seorang pun yang boleh memaksakan kehendaknya. Itulah namanya hak pilih. Kalau kamu hendak memaksakan kehendak, bukan di sini tempatnya." Kinasih berkata dengan suara yang tenang.

"Mahasiswa adalah bagian dari pembelajar dengan peringkat berpikir yang paling tinggi. Saya masih tak habis pikir bagaimana mungkin memilih tampuk pimpinan tertinggi dengan cara pemilu langsung! Yang memilih adalah rakyat dan sebagian besar rakyat ini masih buta politik! Mereka hanya tahu apa yang dicitrakan di telivisi dan media massa lainnya. Banyak sekali bahkan yang tidak tahu menahu siapa yang dipilihnya kelak." Lanjut Kinasih dengan nada prihatin.

"Dan kamu? Karena bantuan yang uangnya tak jelas dari mana, kamu ingin semua orang mendukung pilihan yang sama denganmu? Dungu!" Kinasih menghentakkan jemarinya ke meja hingga terdengar suara keras seperti tamparan.

"Bagaimana bila itu uang hasil pajak yang seyogyanya diberikan untuk mengembangkan usaha bagi rakyat kecil? Atau justru uang itu untuk memperbaiki infrastruktur seperti jembatan yang rusak di sebuah desa yang sangat membutuhkan agar perekonomian dan pendidikan mereka bangkit?" Kinasih mendelik dan mendengus perlahan.

Semua orang memandang tajam pada Bambang Wiguna, seketika Bambang salah tingkah. Wanita ini sangat merendahkan dirinya dihadapan teman-temannya. Untung saja hanya didengar tak lebih dari sepuluh orang.

Sebenarnya Bambang malu. Kinasih memang berpikir lebih jauh dari dirinya. Meskipun ia notabene ketua namun pikiran Kinasih jauh lebih cemerlang atau lebih berpikiran jujur. Jujur pada hatinya.

Dulu sebelum terpilih jadi ketua, Bambang pun berpikiran ideal seperti Kinasih.  Segalanya harus dimulai dengan hati yang bersih dan tindakan yang penuh tanggung jawab. Namun lama-lama Bambang sering menghadapi dualisme antara kepentingan mahasiswa dengan kepentingan elit lainnya. Bambang dipaksa untuk mengalah.

Pemilihan dekan saja, Bambang harus mengubur nuraninya dalam-dalam. Ia harus mendukung dekan pilihan yayasan yang bekantong tebal dan juga bermuka tebal. Program yang ditawarkan calon dekan bermuka tebal itu tidak ada yang memihak pada mahasiswa dengan kemampuan ekonomi rendah meskipun rata-rata mereka cerdas sekali. Seperti Kinasih. Mendapatkan beasiswa secara penuh karena kecerdasannya. Kinasih memang berotak encer, persamaan fisika yang super rumit dilalapnya dengan mudah. 

Pantas kalau Kinasih akan dikirim untuk program khusus penelitian mengembangkan salah satu materi fisika kuantum di Jerman. Uniknya, para ilmuwan-ilmuwan dari berbagai negara dikumpulkan untuk menegaskan bahwa keberadaan Allah nyata dalam penelitian fisika kuantum yang akan mereka kembangkan. Sampai saat ini Jerman terkenal dengan atheisme yang kental. Meskipun diakui ada gerakan sosial yang mulai masif mempertanyakan kedustaan atheisme.  Pasti sangat cocok dengan kemauan dan kemampuan Kinasih.

Kinasih mahasiswa yang super lengkap. Pengetahuan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi luar biasa, begitu juga kepedulian terhadap kehidupan sosial ekonomi. 

Padahal kondisi ekonomi Kinasih sangat memprihatinkan. Ayahnya hanya seorang kuli bangunan dan ibunya memiliki warung kecil berjualan makanan ringan. Kinasih sendiri anak tertua dari enam bersaudara. 

Bambang menggeleng-gelengkan kepalanya, prihatin dengan dekan yang terpilih membuat program pemotongan beasiswa demi bangunan baru untuk para dosen yang fasilitasnya sangat mewah. Bambang menyesali keputusan yang telah ia ambil. Itu karena dekan bermulut manis mengucurinya dana ratusan juta untuk program-program kemahasiswaan.

Kinasih benar. Selalu benar. Bambanglah yang telah salah melangkah. 

Tiba-tiba, Bambang teringat foto yang sudah dicetaknya di sebuah kertas ukuran F4. Foto Kinasih. Sebenarnya Kinasih tidak jelek, justru wajahnya manis dan imut. Hidungnya mancung dan kulitnya putih bersih. Hanya bibirnya saja yang jarang tersenyum. Seperti menahan derita yang banyak.

***


Sudah seminggu Kinasih tak masuk kampus. Bambang Wiguna merasa kampus menjadi lebih adem. Anehnya di sisi lain ia juga merasa kehilangan. Rasanya semangat untuk belajar malah melorot tajam. Kampus rasanya menjadi hambar padahal kegiatan kemahasiswaan sedang ramai karena akhir tahun biasanya ada pentas seni akbar.
Bambang memutuskan untuk menjenguk Kinasih. Ia kini merindukan gadis cerdas plus cerewet itu.

Tidak sulit menemukan rumah Kinasih. Sepulang dari kampus pukul empat sore, Bambang sudah berada tepat di depan warung ibu Kinasih yang berada di samping rumahnya. Ia bertemu wanita berwajah lembut berumur di bawah lima puluh tahunan. Wajahnya mirip Kinasih, ia yakin itulah ibunya Kinasih. Berkerudung biru tua dan berkaca mata minus. Tak disangka oleh Bambang ibunda Kinasih menyapa dengan penuh keramahan.

"Mencari siapa, Nak? Dari tadi ibu perhatikan, sepertinya hendak menemui seseorang. Apa hendak bertemu Kinasih?" Tanya Ibunda Kinasih lembut.

Tebakan yang tepat, Bambang salah duga, dipikirnya tata bahasa Ibunda Kinasih bakal berantakan karena lingkungan tempat Kinasih berada nampak kumuh. Gang kecil tempatnya sekarangpun becek. Hanya kondisi halaman bersih dan banyak tanaman buah-buahan dalam pot. Hingga terasa asri. 

Bambang hanya sanggup menganggukkan kepala. Ibunda Kinasih menyambutnya penuh keramahan. Mempersilakan dirinya masuk dan duduk menempati kursi sofa berwarna kecoklatan. Ruang tamu yang sangat sederhana.

"Sebentar ya, ibu panggilkan Kinasih. Sekarang kondisinya sudah membaik. Siapa namamu, Nak?" Suara lembut itu terdengar hangat. Bambang jadi teringat ibundanya. Selalu kaku dan nampak sibuk setiap waktu. Jauh dari kata ramah apalagi hangat.

"Saya Bambang Wiguna, teman sekampus Kinasih, Bu!" Jawab Bambang sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

Ibunda Kinasih tersenyum, "Ah ya, sudah ibu duga. Duduklah! Tunggu sebentar."

Bambang merasa nyaman sekali berada di rumah kecil ini, berantakan memang, banyak tumpukan kain yang baru dilipat dan mainan anak-anak di atas meja dan kursi. Begitu juga tumpukan buku di rak kecil yang kelebihan beban, tak beraturan. Namun rumah kecil ini nampak bersih. Aura rumah yang menawarkan kedamaian dan kehangatan keluarga.

Udara segar masuk dari jendela nako dan pintu rumah yang agaknya jarang ditutup. Suasana rumah terasa lengang, Bambang tak menemukan kelima adik Kinasih juga Ayahnya.

Berbeda jauh dengan kondisi rumahnya, teramat lega namun selalu tertutup rapat. Pintu pagarpun memakai grendel super besar padahal sudah ada pos satpam yang berjaga dua puluh empat jam. Ada dua orang satpam yang bergantian setiap hari.

Rumahnya memang tenang namun terlampau tenang hingga membuatnya kesepian. Bambang jadi jarang di rumah. Ayah dan ibunya juga sering pergi keluar kota berhari-hari. Sebuah keluarga kecil namun jarang bertemu. Hanya ia dan adik perempuannya yang masih sering saling menyapa. Itupun kadang basa-basi saja.

"Lama menunggu ya? Ma'af Tadi baru selesai shalat Ashar. Terima kasih sudah bersedia datang kemari." Ujar Kinasih sambil tersenyum manis.

Bambang keheranan, wajah Kinasih nampak lembut dan sumringah. Tidak seperti biasanya. Memang nampak makin kurus dan masih pucat.

"Ah, tak apa, saya hanya mampir sebentar untuk melihat keadaanmu."

"Rumahmu sepi. Kemana adik-adikmu?" Tanya Bambang penasaran.

"Ma'af juga tak membawa apapun. Seharusnya saya beli buah-buahan ya?" Bambang membalas senyum Kinasih. Hatinya kini berdegup kencang. Kinasih nampak cantik dengan balutan baju kaus dan celana jeans. 

Kerudung oranye membuat wajahnya semakin bersinar. Baru sekarang Bambang bisa menatap Kinasih seksama, ternyata mata Kinasih bening sekali. Kacamata yang biasa dipakai Kinasih masih tergeletak di atas meja berbaur dengan mainan adik-adiknya.

Mata telanjang Kinasih menggambarkan hatinya yang juga bening. Bambang membatin, Kinasih benar-benar wanita istimewa.

Ia ingin menulari hatinya dengan cahaya bening yang dimiliki Kinasih.

Kinasih buru-buru menyahut "Tak perlu repot, di sini sudah banyak buah, kok! Sebagian besar sudah ranum. Kau cicipi nanti ya? Semuanya dipupuk dengan bahan organik hingga jauh lebih aman dan menyehatkan." 

"Adik-adik sedang pergi mengaji di Mesjid dekat sini. Ayah sedang mengajar anak-anak disekitar sini mengaji, sehabis Maghrib baru mereka pulang." Kinasih menjelaskan dengan suara penuh kelembutan berbeda dari biasa yang Bambang dengar selama ini. Tegas dan tajam.

Lanjutnya lagi, "Sebenarnya hari ini saya berniat masuk, hanya saja ummi masih khawatir. Beliau baru mengijinkan besok untuk kuliah." 

"Saya berjanji akan makan buah-buahan ini, tapi ijinkan saya menjemput kamu besok, biar kamu tidak terlampau lelah harus naik turun angkot beberapa kali. Setuju?" Sambut Bambang meminta sungguh-sungguh agar Kinasih sepakat dengannya.

"Kita tidak akan berduaan saja! Saya akan bawa adik perempuan untuk menemani, kebetulan dia punya tugas dari sekolahnya untuk survey ke kampus yang kelak dipilihnya. Bagamaina Kinasih?" Pinta Bambang penuh harap.

Kinasih mengangguk lemah, bagaimanapun ia pikir harus menghargai Bambang. Bambang memang tidak berwibawa dimatanya namun kali ini persahabatan yang ditawarkan olehnya terasa sangat tulus mampu menembus jeruji hati yang terpasang kokoh. Jeruji itu  berubah menjadi kristal bening yang memantulkan cahaya penuh kehangatan.

Bandung, 20 November 2018

Teriring seperangkat do'a untukmu ananda, Husaina Al-atiq 20-11-2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun