Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... purnakarya - pembelajar

Guru dan pembelajar. purnabakti yang masih berbakti.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fungsi Didaktis dari Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia

25 Juli 2023   06:47 Diperbarui: 25 Juli 2023   06:52 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan harus mengarah pada bertumbuhnya iman dan karakter jatidiri manusia yang terwujud dalam kejujuran dan daya juang serta senantiasa mau berubah untuk masuk pada kedalaman hidup. Jika dikaitkan dengan  kondisi masa kini, zaman berubah – bergerak cepat, dan penuh ketidakpastian, maka Pandemi Covid 19 yang baru kita lewati, menunjukkan rapuhnya tatanan dunia, dan sementara telah lahir tatanan lain dan baru.

Dampak saat ini, Kehidupan (Pendidikan) mengalami tantangan dan beban. Pendidikan berlayar dalam badai yang sangat kuat. Tidak semua dari kita berlabuh di tempat yang sama. Di beberapa tempat, gelombang lebih terasa berat daripada di tempat kita. Untuk itulah diperlukan  berbagi gerak, membangun strategi mencari solusi untuk mengatasi “gelombang” perubahan. (Gandhi Hartono, 2023).

Selanjutnya dikatakan, kondisi dominan peserta didik kini menurut datacpdebrito 2023, menunjukkan:

  • Mudah terhubung namun lemah berelasi
  • Mudah mengambil namun tak mampu memilih
  • Punya gagasan hebat  (ideal) namun tak mampu dan mudah menyerah
  • Ingin sukses dan cepat namun lemah berusaha

Kondisi semacam itu memerlukan pendidik yang mumpuni. Pendidik harus menjadi “Sahabat Sang Guru Agung” yang setia belajar menghayati hidupnya untuk mencapai pertumbuhan diri dan mampu terlibat dalam gerak perubahan zaman. Gerak Perubahan Pendidikan adalah sebuah keniscayaan dan harapan untuk menjawab kemajuan zaman. Gerak perubahan dilatarbelakangi oleh perkembangan zaman yang menuntut pembaharuan semangat kehadiran institusi agama maupun pendidikan dalam realitas konkret.

Ada tiga hal penting yang dikatakan Paus Fransiskus, sebagai pemimpin umat Katolik sedunia,  mengenai pendidikan kini ke depan. Baginya pendidikan bukan hanya mengetahui sesuatu atau sekedar mengikuti yang baik. Pendidikan harus mewujudkan yang baik, benar dan yang relevan. Pendidikan harus mengarah pada tiga area dimensi utama karakter manusia, yakni olah Hati (heart); olah Kepala (head); dan Tangan (hand).

Pemimpin umat Katolik sedunia itu  menekankan bahwa dalam proses pembelajaran semua pelaku harus siap terlibat untuk terus belajar. Baginya, “Belajar supaya kita dapat berpikir mengenai apa yang kita rasakan dan merasakan apa yang kita pikirkan. Dari kekuatan Rasa dan Nalar itulah pendidik akan mengantar anak sampai pada kedalaman dan tindakan nyata. Ia akan dapat mengambil keputusan dengan baik – benar dan menyelamatkan jiwanya. (Paus Fransiskus dalam Gandhi Hartono, 2023).

Dengan kata lain, pendidikan sebaiknya berpusat pada tiga ranah: hati, kepala dan tangan. Artinya pendidikan harus mampu membangun karakter manusia melalui kecerdasan hati (emosional, spiritual dan sosial), kecerdasan intelektual, dan keprigelan atau keterampilan.

Upaya Meningkatkan Budaya Malu

Setelah menjelujuri nilai-nilai yang terkadung dalam puisi MAJOI, yang mengusung tema pokok runtuhnya nilai akhlak di negeri ini dan lunturnya semangat nasionalisme, maka rasa malu yang ditimbulkan dalam puisi MAJOI  muncul karena melakukan sesuatu yang dianggap menyalahi moral, kode etik, hukum dan norma sosial.   Rasa malu yang lain bisa timbul karena melakukan kesalahan yang sebenarnya tidak salah secara moral atau norma sosial. Misalnya jatuh tersandung di depan umum, menabrak tiang listrik karena gagal fokus, atau salah kostum. Rasa malu yang lain sebenarnya lebih kepada keinginan untuk membaur seperti orang-orang di sekitar, tapi tidak bisa karena dirinya memang berbeda (hellosehat.com).

Jadi, rasa malu yang muncul dalam puisi MAJOI, karena ambruknya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Hal itu terungkap dari:  rendahnya akhlak, ketidakjujuran yang merajalela, lemahnya daya juang, keroposnya tanggung jawab, minimnya semangat nasionalisme, dan sebagainya.

Bagaimana kita dapat menanamkan pendidikan karakter untuk menumbuhkan budaya malu tersebut? Puisi MAJOI  mengandung banyak pesan pendidikan dan ajaran moral selain pesan-pesan yang terkait dengan realitas sosial dan politik Indonesia. Puisi yang mengandung muatan serupa itu dapat diduga mampu mendorong pembacanya untuk memerbaiki kualitas kehidupan diri yang bersifat religius, spiritual, dan transenden (Saryono, dalam Aning Ayu Kusumawati, 2013).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun