Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi dalam Tiga Babak

19 Oktober 2020   21:13 Diperbarui: 19 Oktober 2020   21:24 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam mimpi itu, aku seperti dibawa ke sebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi. Tempat itu seperti Indonesia, tapi bukan Indonesia. Dan tiba - tiba saja aku sedang berada di salah satu pojok kafe sedang menikmati kopi. Kami hanya berdua. Aku dan seorang wanita. 

Wanita ini cantik. Rambutnya panjang bergelombang. Wajahnya oval. Kulitnya kuning langsat. Lebih cemerlang. Matanya berbinar. Sangat hidup. Mata seorang yang penuh harapan. Penuh optimisme. Penuh gagasan. Seperti telaga yang bening dan dalam. Meski bisa diterka tapi tetap menyimpan misteri. Sejuk dan menenggelamkan. Dia ramah. Sangat ramah. Sangat terbuka dan berpikiran maju. Modern dan suka merenungkan masalah - masalah kehidupan dan Ketuhanan. Suka membahas hal - hal yang bersifat transendental. Sangat spiritual. 

Aku memesan kopi tubruk. Tanpa gula. Dia pun begitu. Entah berapa ribu kata telah dihamburkan dalam obrolan itu. Di sela, kami menyeruput kopi tanpa gula. Aku tak bisa menghindar dari senyum manisnya. Minat dia sangat banyak. Materi pembicaraan kami sangat menarik. 

Tapi aku merasa lebih tertarik pada profil wanita ini. Seperti menawarkan diri untuk diraih. Anehnya, setiap kali tangan bergerak untuk meraih, dia menjauh. Kata - katanya terus menyemangati. Terus menebar harapan. Ayo raih. Jangan putus asa. Semakin kuat aku berusaha mendapatkannya, semakin kuat juga dia menjauh. Bahkan ungkapan jinak - jinak merpati kurasa  kurang bisa mewakili situasi itu. 

Dia seperti berkata, "Kejarlah aku." Tapi ketika kita hendak mengejarnya secara otomatis dia menjauh. Yang tak habis pikir, di balik kecantikan dan keramahannya ternyata menyimpan kisah pedih yang sangat menyayat. Penuh perjuangan. Padahal kalau melihat wajahnya yang tanpa dosa, sepertinya  kepedihan tak tega untuk menderanya. Hatinya lembut dan hangat. Rasanya tak mungkin sebuah kekerasan dan pengkhianatan bisa menghujam hatinya yang lembut. 

Ngopi pahit itu fokus membahas dia dan perjalanan hidupnya yang penuh liku. Dan mataku tak lepas dari tubuhnya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semua penuh pesona. Tubuh itu seperti bertaburkan berlian. Tapi berlian itu tidak dipasang di luar tubuhnya . Tapi mengikuti aliran darah. Yang membuat setiap nadinya berkilauan. 

Dalam rentetan obrolan, ada satu keluhan yang keluar dari bibir mungilnya. Dia mengaku kerap disalahartikan atas keramahannya. Ujung-ujungnya beberapa sahabat harus menjauh. Karena kecewa. Cintanya kandas. Entah berapa potong hati telah terluka oleh keramahannya. Beberapa jiwa terkapar karena termakan harapan yang berlebihan. Tapi rupanya gadis ini pun bukan berarti tak pernah terluka. Lukanya dalam dan menganga. Karena seseorang yang tega mengkhianati janjinya. Walaupun tak bisa melenyapkan keramahan dan keceriaan  dari wajahnya. Dia tetap konsisten dengan pilihannya.

Akhirnya kami berpisah. Kafe akan tutup. Kami beranjak dari tempat duduk kafe karena teguran seorang waiters yang mengingatkan bahwa kafe akan ditutup. Bisikan sopan waiters itulah yang membangunkan aku. Untunglah dalam situasi yang kritis itu, dia sempat menyebutkan namanya 'Helene'. 

Begitu terbangun aku masih bingung. Tak mengerti apa arti pertemuan itu. Wanita itu tak ku kenal sebelumnya. Dan belum sempat menggali sisi yang lain. Lebih tepatnya aku belum puas berbincang dengan dia. 

Aku lalu coba pejamkan mata. Siapa tahu bisa bermimpi kembali. Dan bisa mengejar sosok dalam mimpi itu. Siapa tahu bisa bertemu lagi. Mungkin kebetulan sedang berpihak. Aku ditarik dalam mimpi yang sama. Tiba - tiba aku berada di tempat yang sama. Tapi dengan wanita yang berbeda. Bukan Helene. Aku masih berharap dia adalah Helene. Anehnya, walau dia bukan dia, wajah dan cara bicaranya seperti dia. Dia bercerita lebih terstruktur. Lebih dinamis dan realisitis. Cenderung transaksional. Kalau mau sukses, harus banyak berusaha dan berdoa. Kira - kira begitu materi obrolannya. 

Dia tak tertarik membahas hal yang tak jelas out put-nya. Segala proses yang terjadi tak lebih sebagai proses produksi yang di mana ada manajemen di dalamnya. Hasilnya jelas, untung atau rugi. Dia sangat suka matematika dan fisika. Jatuh cinta, misalnya, menurutnya hanyalah sebuah transaksi ekonomi sederhana. Sebab masih bisa dihitung dengan cara sederhana. Tak perlu harus berhitung dengan matematika yang rumit. Semisal kalkulus atau integral diferensial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun