Allahu Akbar! Siapa yang kuasa membolak-balikkan hati dan pikiran anak Adam?
***
Esoknya Lagi
Di markas agung, Jenderal bersiap menyambut kehadiran Guru X. Dia dipilih sebagai orang pertama yang dipanggil dalam rangka mengeksekusi amanat opsi D. Seluruh ketentuan prosedur (2) [a], [b], dan [c] ditunaikan. Jenderal tak ingin Guru X kehilangan muka. Pertemuan disetel sekendur mungkin. Itu bukan pekerjaan ringan. Jenderal bukan tipe orang yang mudah mengendurkan tensi. Beruntung, pagi itu ia berhasil bersandiwara.
Giliran kedua? Ketiga? Keempat? Kesekian? None! Tidak ada lagi yang mendapat giliran dipanggil berikutnya. Cukup satu saja. Lalu dilihat efeknya. Prosedur (5), (6), dan (7) dijalankan.
Hari berikutnya, kasus serupa tidak terulang. Minggu berikutnya, nihil kejadian serupa. Bulan berikutnya, perilaku negatif itu tak kunjung kembali muncul. Hingga korban lulus, perundungan serupa tak pernah kambuh--pada korban yang sama maupun berganti orang, oleh pelaku yang sama maupun berbeda orang.
Peristiwa itu berlalu sudah hampir dua windu. Dan ... tidak pernah terdengar orang membicarakannya hingga detik ini--ketika tulisan ini dibuat. Berarti, prosedur (3) dan (8) dipatuhi.
Bagaimana nasib prosedur (1) dan (4)?Â
Prosedur (1) sengaja "dikhianati". Kok? Ya! Jika prosedur (1) ditunaikan, itu menjadi ancaman bagi tercapainya prosedur (8). Dan itu berarti ancaman virus penyakit bagi organisasi. Tidak takut dosa karena khianat? Di mana khianatnya? Baiklah, ditulis ulang prosedur (1) "Di antara semua guru yang mengajar di kelas korban dipanggil satu per satu." Berapa yang dipanggil? Satu per satu = 1/1 = 1. Paham, kan? Itulah alasannya, mengapa penulisan kata "dikhianati" pada kalimat pertama paragraf ini diapit tanda petik ("...").
Sedangkan prosedur (4) itu 100% terserah kepada pelaku.
Liding crita: kena iwake, aja nganti buthek banyune.