Jenderal datang, heran. Tak lazim, kedua tandemnya berada di markasnya tanpa izinnya. Dua keping wajah berselimut kekalutan. Jenderal tak perlu bertanya, "Ada apa?" Keduanya silih berganti saling melengkapi laporan kejadian yang baru saja mereka alami.
"Baik," jawab Jenderal, tenang. "Beri saya waktu untuk berpikir (nggaya banget!). Bersiaplah untuk pulang terlambat. Nanti kita brifing untuk membahas formulasinya."
Lalu Jenderal "bertapa". Segenap daya nalar dan kuasa nala dikerahkan. Opsi-opsi tindakan dan konsekuensinya, lengkap dengan prediksi dampaknya, diformulasikan. Dari yang terpahit sampai yang paling manis. Dari yang terkejam hingga yang paling humanistis. Dari yang terkasar sampai yang paling lembut. Dari yang terberat hingga yang paling ringan. Opsi A bla bla bla ..., potensi dampaknya 1, 2, 3. Opsi B bla bla bla ..., potensi dampaknya 4, 5, 6. Opsi C bla bla bla ..., potensi dampaknya 7, 8, 9. Opsi D bla bla bla ..., potensi dampaknya 10, 11, 12.
Usai bertapa, Jenderal memanggil kedua tandemnya. Disampaikanlah opsi-opsi yang diformulasikan dari bisikan wangsit yang didapat lewat pertapaannya. Keduanya mengerti. Mereka sepakat. Â
Kini tinggal mengatur jadwal pertemuan dengan pihak penggugat. Nomor telepon dipanggil. Yang menerima si Ibu, istri Bapak yang mengadu.
"Maaf, Pak. Bapak (suaminya, yang dimaksud) lagi istirahat. Ada yang bisa saya bantu?" jawab si Ibu dari seberang telepon, ketika Jenderal minta izin untuk berbicara dengan suaminya.
"Begini, Ibu. Siang tadi Bapak datang ke sekolah. Sayang, beliau gagal ketemu saya. Apakah Ibu mengetahui keperluan beliau?" lanjut Jenderal.
"O, iya. Tadi Bapak sudah bercerita tentang itu. Nggak apa-apa, Pak, karena Bapak (Jenderal, maksudnya) memang lagi ada tugas di luar. Kami ikut saja, kapan Bapak bisa menjadwalkan pertemuan."
"Alhamdulillah. Terima kasih atas pengertian Ibu dan Bapak. Justru kami yang menyesuaikan dengan kesempatan Ibu dan Bapak. Tapi selambat-lambatnya besok, ya, Bu. Kalau harus hari ini juga tidak mengapa. Malam pun kami siap menerima kehadiran Ibu dan Bapak. Cuma, saya mohon yang hadir Ibu dan Bapak. Bersama. Dua-duanya. Kami akan standby di Sekolah sampai mendapatkan kepastian jadwal kehadiran Ibu dan Bapak."
"O, kalau begitu, saya pastikan kami datang besok saja, Pak. Jamnya kami beritahukan besok pagi-pagi atau nanti setelah Bapak bangun, njih?"
"Sip. Kita bisa segera pulang. Biar nanti beliau menghubungi nomor saya saja. Besok kita siap. Bertiga. Tidak boleh kurang. Menerima beliau berdua," titah Jenderal kepada dua deputinya. "Tenangkan diri. Netralkan pikiran. Jangan bawa pulang masalah ini. Keluarga di rumah tidak berhak untuk turut memikul beban ini. Ayo, kita pulang. Salam untuk keluarga. Mintakan maaf kepada mereka. Saya telah merampas sebagian hak mereka."