Menjadi tutor (istilah guru dalam pendidikan non formal) di dunia pendidikan kesetaraan itu unik. Banyak kejadian menakjubkan ditemui saat berinterkasi dengan warga belajar (istilah siswa atau peserta didik dalam dunia pendidikan non formal).
Selain karena warga belajar itu anak-anak dan orang dewasa, diantaranya mereka adalah orang yang memiliki kematangan dan pengalaman hidup yang lebih dulu diperoleh sebelum terdaftar sebagai peserta didik.
Maka, pemilihan cara belajar orang dewasa menjadi jalan fasilitasi mereka selama menempuh program pendidikan kesetaraan Paket A, B dan C.Â
Bagi warga belajar yang memiliki usia kanak-kanak, seperti warga belajar home schooling, metode pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan pendidikan anak.
Saya pernah memiliki beberapa warga belajar Paket A berusia sekitar 20 tahunan lebih.
Materi pendidikan tingkat sekolah dasar menjadi bahan pembelajaran wajib bagi warga belajar level itu.
Bayangan awam, bagaimana orang dewasa belajar pengetahuan tingkat sekolah dasar, apa saja yang harus diajarkan. Apa iya masih harus mengajarkan baca, tulis dan hitung (calistung) sebagaimana pelajaran SD di sekolah formal.
Keunikan belajar bersama dengan orang dewasa tentang pengetahuan tingkat anak-anak.
Bagaimana pun juga, walau itu materi untuk anak-anak, warga belajar harus tetap memperolehnya. Tutor menyampaikan dengan cara tersendiri sesuai dengan teori dan praktek belajar mengajar bersama orang dewasa.
Tuntutan kurikulum di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau PKBM sebagai lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan memang demikian adanya.
Mengikuti standar tetap pemerintah yang berlaku seperti kurikilum tiga belas atau kurtilas hingga  kurikulum terbaru 2022 yaitu Kurikulum Merdeka berbasis Profile Pelajar Pancasila.
Suasana belajar bersama warga belajar sekolah kesetaraan, dibuat sesederhana mungkin serta penuh keriangan dan luwes.
Sesekali bernyanyi, ice breaking atau bermain game-game lucu dan menantang.
Kadang-kadang, materi pembelajaran disampaikan melalui cara-cara itu juga cara belajar lain yang menyenangkan.
Variasi belajarnya bisa banyak, sehingga tanpa warga belajar sadari bahwa ia sedang berproses memahami pelajaran. Beda jika belajar hanya dengan metode ceramah saja yang suka membuat bosan.
Dari keluwesan yang ditampilkan, saat itulah potensi dan bekal pengalaman hidup diutarakan serta dieksplor warga belajar, sehingga hal itu menjadi pelengkap keterhubungan antara materi belajar dan kecakapan hidup.
Pekerjaan rumah (PR) dalam proses pendidikan kesetaraan, menjadi pilihan dalam proses belajar.
Ya, PR itu pasti ada, hanya bentuk PR tidak selalu berupa penugasan tutor bagi warga belajarnya.
PR menjadi suatu kebutuhan warga belajar terutama saat warga belajar memilih pola belajar secara tutorial atau belajar mandiri diluar tatap muka di dalam kelas atau pertemuan dalam jaringan (daring).
Jadi, saat ada kebijakan di sekolah formal, siswa dibebaskan PR, warga belajar malah mencari PR.
PR dan Penjara
Sampai pada suatu ketika, seorang warga belajar di kelas yang saya bina, mengalami suatu persoalan hukum dan statusnya menjadi narapidana (napi).
Laporan pihak yang merasa dirugikan karena ulah warga belajar saya, menyebabkan si warga belajar harus mendekam di sel penjara dalam waktu beberapa lama.
Masa saat ia berada di dalam tahanan kepolisian, berbarengan dengan masa-masa menjelang ujian persamaan.
Walau dalam keadaan sedang prihatin menjalani proses hukumnya, si warga belajar tetap antusias ingin tetap belajar.
Pelayanan pembelajaran baginya dilaksanakan menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan aturan di ruang tahanan.
Pihak aparat yang kooperatif, memperlancar proses belajar si warga belajar selama berada di sel.
PR apapun bentuknya ia kerjakan sesuai kemampuan. Pengawasan selama belajar berjalan bersama dengan hadirnya aparat disana.
Penjara bukan lagi kendala atau penghalang belajar. PR ini kemudian terus menghidupkan semangat belajar.
Tahanan yang lain, dalam satu sel yang sama menjadi terinspirasi ikut belajar. Ada diantaranya pernah mengenyam pendidikan menengah dan tinggi.
Melihat kawan satu ruang tahanannya giat belajar, tahanan lain turut membantu dan menyumbangkan ilmunya.
Inisiatif belajar bersama, menjadi cara mengisi waktu yang efektif saat itu.
Hingga waktu tiba saatnya ujian. Ini adalah waktu yang dinantikan.
Bersama dengan keluarnya ijin mengerjakan soal-soal di luar sel penjara, ujian terlaksana.
Si warga belajar merasa dia mampu menyelesaikan ujian sebab dari sekian soal yang ia baca dan kerjakan, sebagaian besar pemahamannya sudah ia miliki selama ia mengerjakan PR dari tutor juga belajar mandiri dalam bimbingan kawan tahanan lain yang memiliki tingkat pendidikan diatas dia.
Saat PR menjadi perdebatan bahkan kontroversial dalam dunia pendidikan formal, justru di dalam dunia pendidikan non formal hal itu menjadi sebaliknya.
PR sebagai sebuah kebutuhan karena dinilai membantu warga belajar mengikuti proses sekolah kesetaraan di usia dewasa.
Belum lagi mereka adalah para kaum pekerja atau orang dalam kondisi khusus akibat situasi dan hal tertentu, sementara mereka harus tetap belajar karena kejaran cita-cita memperbaiki keadaan dan kepemilikan ijasah persamaan jenjang pendidikan memadai bagi penopang kehidupannya mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H