Sebelum artikel ini dimulai, saya ingin mengucapkan selamat hari Pramuka untuk para pembaca semua. Bulan ini, tepatnya pada tanggal 14, 58 tahun yang lalu, Gerakan Praja Muda Karana (Pramuka) diperkenalkan kepada masyarakat sebagai gerakan kepanduan satu-satunya di Indonesia. Walaupun secara historis, gerakan kepanduan di Indonesia sudah diperkenalkan sejak zaman penjajahan Belanda.
Mungkin kenangan indah saat mengikuti kegiatan Pramuka dulu saat masih sekolah, tiba-tiba terlintas dari pikiran Anda saat membaca artikel ini.
"Duh, jadi inget sama mantan gebetan gue waktu Pramuka dulu"
"Hmm, Pramuka telah mempertemukan aku dengan jodohku"
Woy, jangan kisah cintanya mulu dong yang Anda ingat. Emang Anda nggak punya kenangan sewaktu ikut kegiatan Perkemahan Sabtu Minggu (Persami) gitu?
Tak dapat dipungkiri, organisasi berlambang tunas kelapa ini sempat menemani hidup kita, baik saat kita menjadi anggotanya, ataupun saat kita dibantu anggota Pramuka yang turun langsung di masyarakat. Seperti gerakan kepanduan lainnya, Pramuka mendidik para anggotanya agar menjadi pribadi yang disiplin, peduli terhadap alam & sesama, serta bertanggung jawab. Pramuka juga mengajarkan banyak simpul, membangun tenda, baris-berbaris, kode, dan banyak lagi. Intinya, banyak hal positif yang bisa kita dapatkan di Pramuka.
Di usianya yang bisa dikatakan sudah "tidak muda", Pramuka masih berupaya untuk mempertahankan eksistensinya di generasi muda saat ini. Pramuka kini harus bersaing dengan berbagai pilihan kegiatan yang dianggap "lebih kekinian" oleh anak muda sekarang, yang sudah melek teknologi.
Banyak anak muda yang masih menganggap kegiatan Pramuka itu jadul dan kurang berkembang. Meski begitu, nama Pramuka masih dipandang sebagai kegiatan positif oleh sebagian lapisan masyarakat dan kalangan pemerintahan.
Sayang, nama baik organisasi yang identik dengan warna coklat itu kini mulai terkikis secara perlahan. Selain karena anggapan remeh generasi zaman kiwari, berbagai fakta yang membuktikan pendidikan karakter di Pramuka tidak berhasil kini mulai bermunculan. Pada artikel ini, saya hanya akan mengulas 2 fakta saja, yaitu soal partisipasi "semu" dan adanya pelecehan seksual di Pramuka.
Dehumanisasi Murid Sekolah Berujung Partisipasi "Semu" Pramuka
Pertama, soal partipasi "semu". Partisipasi yang saya maksud ini berkaitan dengan tingkah laku beberapa anggota Pramuka yang tidak bersikap seperti yang dituliskan dalam Dasadharma Pramuka. Khususnya, dalam bersikap memanusiakan manusia.
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus anggota Pramuka yang dipaksa untuk makan dengan beralaskan tanah. Kasus tersebut bahkan sampai terdengar oleh Ketua Kwarnas Pramuka saat itu, Adhyaksa Dault.
Semenjak kasus "makan beralas tanah" mencuat, Pramuka mendapat stigma negatif dari sebagian para murid sekolah. Stigma tersebut juga muncul karena tingkat senioritas yang cukup tinggi, dan metode pelatihan yang diberikan senior cukup "ekstrim".
Meskipun tidak semua Pramuka sekolah memiliki pelatihan yang "ekstrim" dan anggotanya tidak semua seperti itu, namun kasus pelatihan "ekstrim" yang bertebaran di internet sepertinya cukup untuk membuat para siswa parno untuk masuk ekstrakurikuler Pramuka.
Selain itu, beberapa netizen mengirimkan beberapa foto kegiatan yang melibatkan anggota Pramuka yang tidak menerapkan Dasadharma-nya di lingkungan masyarakat. Salah satunya perihal timbunan sampah saat kegiatan Pramuka.
Walau kebenarannya masih simpang siur, banyak warganet yang menyebarkan "kesalahan" tersebut karena tidak sesuai dengan apa yang mereka anggap benar.
Butuh bukti? Coba Anda buka situs komedi dalam negeri, 1cak.com, lalu cari "anak coconut" di kolom pencarian situs tersebut.
Hasil dari stigma tersebut, kini anggota Pramuka seringkali dipanggil dengan sebutan "anak coconut" di media sosial, yang terilhami dari lambang Gerakan Pramuka yang berupa tunas kelapa.
Tak hanya memantau dari media sosial, masalah ini pernah saya diskusikan dengan beberapa orang yang punya pengalaman buruk dengan kegiatan Pramuka. Cerita mereka saya siarkan dalam Pandu Podcast, serial podcast yang membahas isu-isu pemuda dan masyarakat dari sudut pandang Pramuka.
Ada cerita Indra dari Bekasi, yang pernah diancam tidak akan naik kelas saat masih menempuh kursi sekolah gara-gara tidak menjadi anggota Pramuka. Ketika saya wawancara, Indra sudah menginjak semester 6 di kampusnya sekarang. Ada juga cerita dari Kaliandra di Bandung, yang pernah didiskrimidasi oleh pelatih Pramuka saat SD dulu karena dianggap "berbeda" oleh teman-teman dan pelatih Pramukanya.
Berbagai unggahan media sosial dan cerita dari narasumber saya tersebut seakan menyajikan fakta pilu soal kegiatan Pramuka yang ternyata tercemar oleh "pembalasan dendam", intimidasi, dan diskriminasi. Kemana citra kegiatan Pramuka yang selama ini dikenal sebagai kegiatan yang ceria dan tak memandang perbedaan?
Menariknya, jumlah anggota Pramuka di Indonesia ternyata menjadi yang terbanyak nomor satu se-dunia. Melansir Tirto, Ketua Komite Kepanduan Wilayah Asia Pasifik Paul Parkinson mengatakan, Pramuka Indonesia sangat diperhitungkan di dunia karena "Indonesia memiliki setengah dari anggota kepanduan sedunia"
Jika memang kegiatan Pramuka diidentikan sebagai kegiatan jadul, tidak menarik, dan "tidak memanusiakan manusia", mengapa jumlah anggotanya bisa mengalahkan negara-negara lain di dunia?
Hal tersebut tak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang menjadikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler yang wajib diambil oleh siswa-siswi sekolah tersebut.
Pada tahun 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud No. 63 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Peraturan tersebut mengatur kewajiban sekolah untuk menjadikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler bagi siswa-siswinya.
Pro dan kontra pun bermunculan. Pihak pro beranggapan bahwa dampak positif pendidikan Pramuka bisa memberikan pengaruh baik dalam pendidikan di Indonesia.
Sedangkan pihak yang kontra, yang menjadi mayoritas, berpendapat bahwa peraturan tersebut sudah menyalahi nalar akademik dan melanggar hak asasi manusia. Nurul Huda SA, Direktur Yayasan Fahmina Cirebon dan Pengurus Dewan Pendidikan Kota Cirebon, Jawa Barat, dalam opininya di Tempo.co, mengatakan bahwa peraturan tersebut merupakan bentuk pelanggaran atas hakikat Pramuka, merendahkan martabat Pramuka, melanggar UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, melanggar UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahkan menyalahi nalar akademik.
Selain dari pengamat pendidikan, penolakan juga diberikan oleh siswa-siswi sekolah yang pastinya terdampak peraturan tersebut. Dari beberapa komentar di sebuah fanpage Facebook shitposting yang menyindir Pramuka, saya bisa menemukan beberapa orang yang tidak setuju dengan aturan "ekskul wajib Pramuka" di sekolah mereka. Mereka beralasan, pilihan ekstrakurikuler harusnya disesuaikan dengan minat dari siswa itu sendiri, tanpa perlu adanya pemaksaan dengan aturan wajib.
"Udah ekstrakurilernya diwajibin, pas masuk malah dipelonco lagi!" Itu mungkin opini sebagian besar anggota di fanpage Facebook tersebut.
Bisa jadi, sebenarnya panggilan "anak coconut" dari mereka itu sebenarnya merupakan bentuk sindiran mereka terhadap kegiatan dan tingkah laku anggota Pramuka yang dianggap kelewat "ekstrim".
Terlepas opini tersebut menjadi pembenaran atas sifat mereka, saya merasa opini tersebut bisa muncul karena kebijakan yang diterapkan di sekolah lebih bersifat satu arah. Sehingga, para pendukung opini tersebut akhirnya memilih media sosial sebagai tempat mereka bersuara dan menggalang dukungan.
Rusli Akhmad Junaedi dari Fakultas Filsafat UGM, dalam jurnal penelitiannya, mengatakan bahwa peraturan tersebut membuat manusia, khususnya peserta didik mengalami dehumanisasi. Menurut Rusli, dehumanisasi terjadi ketika peserta didik kehilangan kebebasan untuk menentukan materi atau kursus yang mereka ikuti atas dasar kesadaran dan kemauannya sendiri.
Rusli juga menulis bahwa model pendidikan kepramukaan Indonesia merupakan cerminan dari pendidikan hadap-masalah, dimana kontradiksi antara pembina dan peserta didik diatasi dengan situasi pembelajaran dialogis. Sehingga proses komunikasi timbal-balik serta adanya ruang demokratis untuk saling mengkritisi bisa terwujud.
"Ketika model pendidikan kepramukaan Indonesia kemudian ditetapkan sebagai ekstrakurikuler wajib, maka praktik pendidikan hadap-masalah yang sebelumnya telah ada menjadi terdistorsi, karena ada unsur penindasan berupa paksaan dan ketidaksukarelaan, baik pada pembina maupun peserta didik," tulis Rusli dalam jurnalnya.
Maraknya Pelecehan Seksual di Pramuka
Kedua, soal pelecehan seksual di Pramuka. Ini harus saya tulis, karena pada tahun ini saja, sudah ada 2 kasus pelecehan seksual yang melibatkan oknum anggota dewasa Pramuka.
Kasus pertama di Surabaya yang dilakukan oleh pembina Pramuka terhadap 15 orang, dan kedua di Banyumas yang dilakukan oleh pelatih Pramuka terhadap 11 anak asuhnya. Kasus di Banyumas akhirnya berujung pada pemecatan tersangka sebagai anggota untuk selamanya oleh Kwarcab setempat.
Jika dirunut ke belakang, kasus pelecehan seksual Pramuka yang terekspos media sudah cukup banyak. Pada tahun 2018, terjadi kasus serupa di Jombang. Lalu pada tahun 2017 terjadi di Siantar, Sumatera Utara. Serta tahun 2016 di Purworejo, Tambun, dan Sukabumi.
Tak hanya di Indonesia, kasus pelecehan seksual di lingkungan Pramuka (atau gerakan kepanduan) juga terjadi di luar negeri. Tahun 2017 lalu, Gerakan Kepanduan Australia didapati punya sejarah panjang pelecehan seksual terhadap anak. Hal tersebut dikatakan oleh The Royal Commission into Institutional Responses to Child Sexual Abuse, komisi khusus yang dibentuk Pemerintah Australia untuk menangani kasus pelecehan seksual anak.
Sementara itu, beberapa anggota kepanduan di Prancis menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang pastur di Prancis pada pertengahan tahun 1970 sampai 1980-an. Dilansir dari VOA Indonesia, pastur tersebut dinyatakan bersalah dan dipecat oleh Gereja Katolik Perancis pada hari Kamis (4/7/2019).
Baru-baru ini di Amerika Serikat, seseorang berinisial SD mengajukan gugatan hukum atas tindakan pelecehan seksual terhadap "ratusan" anggota di ranah Boy Scouts of America, organisasi kepanduan di sana. Melansir Washington Post, organisasi kepanduan tersebut dianggap gagal dalam melindungi dan menjamin rasa aman kepada anggota-anggota mudanya untuk berkegiatan.
Memang, beberapa perlakuan ekstrim dan pelecehan seksual yang saya sematkan dalam tulisan ini dilakukan oleh oknum anggota Pramuka yang tidak bertanggungjawab, baik anggota muda dan dewasa. Saya tidak menyamaratakan semua anggota dewasa Pramuka di sekolah-sekolah melakukan hal yang saya tuliskan di atas. Tetapi, fakta-fakta tersebut harusnya menjadi bahan perhatian oleh pihak-pihak terkait, khususnya Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Terlebih, kasus pelecehan seksual yang terjadi di Pramuka semakin banyak yang terekspos media. Mungkin ada kasus lainnya yang tidak terekspos karena korban-korbannya masih takut untuk bersuara dan lingkungan sekitar korban tidak mendukung.
Apa yang Harus Dibenahi?
Lalu, apa yang perlu dibenahi di dalam internal Pramuka agar kedua masalah tersebut bisa ditangani?
Menanggapi partipasi semu, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah mengembalikan marwah Pramuka sebagai kegiatan pendidikan yang bersifat sukarela agar terwujud pendidikan Pramuka yang humanis.
Dalam jurnalnya, Rusli menjelaskan bahwa hal tersebut perlu dilakukan agar kesukarelaan dan kemerdekaan pembina dan peserta didik sebagai manusia otonom tidak dicederai. "Sehingga pembina dan peserta didik ditempatkan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya."
Dalam Pasal 6 Anggaran Dasar Pramuka sendiri, sudah tertulis bahwa "Gerakan Pramuka adalah organisasi pendidikan yang keanggotaannya bersifat sukarela, mandiri,..." Maka, sebenarnya kebijakan Pemerintah yang menjadikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah sudah menyalahi Anggaran Dasar Pramuka itu sendiri.
Selain itu, anggota Pramuka saat ini harus memutus rantai dendam yang sudah terbangun selama ini akibat senioritas yang terus menerus dipupuk. Hal tersebut sekilas mudah diucapkan, tetapi terkadang ada saja alasan yang mempersulit realisasinya. Perbaikan tersebut memang harus dilakukan secara perlahan. Sehingga nantinya stigma buruk tentang Pramuka akan menghilang dan Pramuka bisa kembali diminati oleh murid-murid sekolah.
Sedangkan untuk masalah pelecehan seksual, pihak Kwartir Nasional harus mulai bertindak aktif dalam mengedukasi anggota mudanya agar mewaspadai tindak kejahatan tersebut. Pengawasan ketat dalam perekrutan anggota dewasa juga perlu dilakukan agar orang-orang yang terindikasi pedofilia tidak dijadikan sebagai pembina atau pelatih Pramuka di sekolah.
Selain itu, sebenarnya kegiatan Pramuka di Indonesia menerapkan satuan terpisah dalam metode kepramukaan. Dalam pasal 12 Anggaran Dasar Pramuka, tertulis bahwa salah satu cara belajar interaktif progresif dalam metode kepramukaan adalah dengan sistem satuan terpisah. Dimana, anggota Pramuka perempuan dibina oleh Pembina Putri dan anggota laki-laki dibina oleh Pembina Putra. Sistem tersebut juga berlaku dalam kegiatan kepramukaan, terutama dalam kegiatan perkemahan.
Oleh karena itu, penegakan sistem tersebut di semua gugus depan Pramuka yang ada di seluruh Indonesia menjadi hal yang sangat diperlukan.
Sebagai orang tua murid, ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan agar buah hatinya dapat terhindar dari tingkah laku oknum yang hendak melakukan pelecehan seksual. Psikolog perkembangan anak, Dr. Andrea Bastiani Archibald, dalam artikel yang dirilis oleh US Girl Scouts (organisasi kepanduan putri Amerika Serikat) beberapa waktu lalu, mengingatkan para orangtua agar mereka mulai mengajarkan soal izin (consent) kepada anak mereka.
"Apapun alasannya, anak berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka mau menyentuh atau disentuh orang lain," tegas Andrea di dalam tulisan tersebut.
Sedangkan sebagai anggota muda, tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan cara menolak ajakan pembina untuk melakukan kegiatan Pramuka di luar sekolah secara privat. Jika memang kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan di dalam sekolah dan bersama-sama, setidaknya anggota tersebut harus ditemani oleh anggota lain.
Pendidikan Pramuka pada dasarnya menanamkan nilai-nilai positif kepada anggotanya dalam hidup bermasyarakat. Tetapi, jika anggotanya hanya menganggap Pramuka sebagai kegiatan melampiaskan hasrat dan keuntungan pribadi serta melanggengkan senioritas belaka, maka fungsi Pramuka sebagai kegiatan pembentukan karakter bisa dikatakan gagal. Gagalnya fungsi tersebut bisa membuat eksistensi Pramuka menjadi mubazir, mengingat anggota Pramuka di negara kita terbanyak sedunia.
Semoga kedepannya bisa terwujud pendidikan Pramuka yang humanis (memanusiakan manusia), menjunjung semangat persatuan Indonesia, serta partisipasinya di masyarakat tidak sekedar seremoni belaka.
Salam Pramuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H