Menariknya, jumlah anggota Pramuka di Indonesia ternyata menjadi yang terbanyak nomor satu se-dunia. Melansir Tirto, Ketua Komite Kepanduan Wilayah Asia Pasifik Paul Parkinson mengatakan, Pramuka Indonesia sangat diperhitungkan di dunia karena "Indonesia memiliki setengah dari anggota kepanduan sedunia"
Jika memang kegiatan Pramuka diidentikan sebagai kegiatan jadul, tidak menarik, dan "tidak memanusiakan manusia", mengapa jumlah anggotanya bisa mengalahkan negara-negara lain di dunia?
Hal tersebut tak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang menjadikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler yang wajib diambil oleh siswa-siswi sekolah tersebut.
Pada tahun 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud No. 63 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Peraturan tersebut mengatur kewajiban sekolah untuk menjadikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler bagi siswa-siswinya.
Pro dan kontra pun bermunculan. Pihak pro beranggapan bahwa dampak positif pendidikan Pramuka bisa memberikan pengaruh baik dalam pendidikan di Indonesia.
Sedangkan pihak yang kontra, yang menjadi mayoritas, berpendapat bahwa peraturan tersebut sudah menyalahi nalar akademik dan melanggar hak asasi manusia. Nurul Huda SA, Direktur Yayasan Fahmina Cirebon dan Pengurus Dewan Pendidikan Kota Cirebon, Jawa Barat, dalam opininya di Tempo.co, mengatakan bahwa peraturan tersebut merupakan bentuk pelanggaran atas hakikat Pramuka, merendahkan martabat Pramuka, melanggar UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, melanggar UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahkan menyalahi nalar akademik.
Selain dari pengamat pendidikan, penolakan juga diberikan oleh siswa-siswi sekolah yang pastinya terdampak peraturan tersebut. Dari beberapa komentar di sebuah fanpage Facebook shitposting yang menyindir Pramuka, saya bisa menemukan beberapa orang yang tidak setuju dengan aturan "ekskul wajib Pramuka" di sekolah mereka. Mereka beralasan, pilihan ekstrakurikuler harusnya disesuaikan dengan minat dari siswa itu sendiri, tanpa perlu adanya pemaksaan dengan aturan wajib.
"Udah ekstrakurilernya diwajibin, pas masuk malah dipelonco lagi!" Itu mungkin opini sebagian besar anggota di fanpage Facebook tersebut.
Bisa jadi, sebenarnya panggilan "anak coconut" dari mereka itu sebenarnya merupakan bentuk sindiran mereka terhadap kegiatan dan tingkah laku anggota Pramuka yang dianggap kelewat "ekstrim".
Terlepas opini tersebut menjadi pembenaran atas sifat mereka, saya merasa opini tersebut bisa muncul karena kebijakan yang diterapkan di sekolah lebih bersifat satu arah. Sehingga, para pendukung opini tersebut akhirnya memilih media sosial sebagai tempat mereka bersuara dan menggalang dukungan.
Rusli Akhmad Junaedi dari Fakultas Filsafat UGM, dalam jurnal penelitiannya, mengatakan bahwa peraturan tersebut membuat manusia, khususnya peserta didik mengalami dehumanisasi. Menurut Rusli, dehumanisasi terjadi ketika peserta didik kehilangan kebebasan untuk menentukan materi atau kursus yang mereka ikuti atas dasar kesadaran dan kemauannya sendiri.