Raden Pamekas membuka pembicaraan. "Ki Wulungan.., sebelum aku melaporkan ke Pajang, ada baiknya aku mendengar keterangan yang kau ketahui seputar keadaan Matesih.
"Baik Raden. Hamba akan berkata sesengguhnya tanpa dibuat-buat."
"Kademangan Matesih yang aku pimpin akhir-akhir ini memang sering dilanda kisruh. Kehilangan hewan ternak hampir kerap terjadi setiap hari. Belum lagi, beberapa orang pemuda padukuhan yang tiba-tiba menghilang, tak diketahui.
"Aku sudah berusaha keras menjaga keamanan kademangan Matesih. Tetapi padukuhan yang letaknya terluar, luput dari pengawasan," Ki Wulungan menarik napas dalam-dalam.
"Dan yang lebih parah, para bebahu kademanganku memfitnah aku sebagai pemberontak dengan dalih menyembuyikan dua laskar Jipang dirumahku," ujar Ki Wulungan dengan suara berat.
Raden Pamekas mengangguk-angguk. "Apakah bukan tidak mungkin justeru para bebahumu yang menyokong pemberontakkan mereka?"
"Hamba belum berani menyimpulkan demikian sebelumnya, tetapi sekarang hamba yakin. Hampir pasti mereka telah bersekongkol mendukung Jipang, pemuda padukuhan yang tiba-tiba menghilang itu pun aku lihat, berkeliaran di lereng Tidar."
Raden Pamekas menatap Ki Jipayana, Ki Jipayana sendiri hanya tertunduk dalam.
"Maafkan hamba Raden, hamba telah salah tangkap."
"Ki Wulungan aku mohon maaf, jika aku telah menyulitkanmu karena kecerobohanku."
"Aku tidak menyalahkanmu Ki Jipayana. Para bebahuku yang telah bersekongkol itu, membuat kita sulit membedakan siapa kawan dan siapa lawan."