Rombongan prajurit itu lalu mendirikan tiga buah tenda sekedar untuk bermalam. Mereka turun ke sungai untuk membersihkan diri secara bergantian, debu-debu yang melekat ditubuh mereka selama perjalanan, rasanya membuat gatal kulit mereka. Dengan berendam di sungai membuat mereka segar kembali dan sedikit mengurangi rasa lelah.
Saat Ki Wulungan dan Linggar turun ke tepian pasir sungai Praga, samar dilihatnya tapak-tapak kaki yang membekas dipasir. Ki Wulungan bertopang dagu dan memperhatikannya.
Linggar yang ada disebelahnya pun bertanya, "ada apa ayah?"
"Sepertinya ada orang yang menyeberang sungai ini belum beberapa lama."
"Bukankah itu wajar ayah. Tempat ini adalah penyeberangan."
"Benar tetapi jarang sekali orang menyeberang sungai dalam jumlah sebanyak ini, semak-semak ditepian ini pun berpatahan."
"Apakah mungkin ada yang sedang melangsungkan pernikahan di seberang setelah alas Mentaok?" tanya Linggar.
"Hampir dipastikan orang tidak akan mengambil jalan ini untuk sampai ke Pajang atau Prambanan. Jalur ini terlalu beresiko Linggar!"
"Sebaiknya malam ini kita waspada sampai kita menyeberang dengan selamat. Aku akan menyampaikan pada Ki Jipayana."
Linggar hanya mengangguk, memahami kewaspadaan ayahnya. Keduanya tidak berlama-lama ditepian sungai itu, mereka langsung merendam tubuhnya di bagian pinggir sungai yang dangkal.
Setelah semua bergiliran mandi, dua orang pengawal menyiapkan api unggun. Raden Pamekas, Ki Jipayana dan Ki Wulungan beserta Linggar duduk dalam satu lingkaran.