Sebuah buku yang ditulis lebih dari 6 tahun dengan riset mendalam, bajakan mas Agus sempat berpuasa media sosial selama berbulan-bulan selama menulis buku ini. Ratusan buku dan referensi pun harus dibaca. Â
Buku ini banyak membahas topik yang cukup sensitif mengenai agama dan perang suci yang mungkin akan menarik untuk dibaca. Â
Dalam jalan-jalan ini, Mas Agus juga membawa misteri guest, seorang pemuda berusia 24 tahun yang good looking dan ternyata merupakan seorang pengungsi dari Afghanistan bernama Ali.
Mas Agus memperkenalkannya sebagai Etnis minoritas Hazarat yang beraliran Syiah dan memang mendapatkan diskriminasi dan persekusi di tanah kelahirannya
Etnis Hazarat berpenampilan sedikit lebih putih dan mirip dengan Mongol atau Tionghoa dan berbahasa Dari yang Nurul bahasa Farsi. Â Di Afghanistan yang multietnis, Hazara memang minoritas sementara etnis Pashtun menjadi mayoritas.
Ali bercerita sudah 9 tahun menjadi pengungsi dan meninggalkan Afghanistan pada usia 15 tahun. Pertama dia baik pesawat terbang ke India, kemudian dilanjut ke Malaysia dan akhirnya naik perahu dan terdampar di Indonesia. Â Sementara orang tuanya sendiri sekarang tinggal di Iran.
Ketika ditanya pendapatnya tentang Indonesia, Ali menjawab bahwa toleransi di Indonesia sangat baik ketika bermacam etnis dan agama dapat hidup berdampingan dengan damai tidak seperti di tanah  airnya.
Dengan statusnyabsebagai pengungsi, Ali tidak memiliki kepastian akan masa depan, tidak bisa memiliki pekerjaan dan hidup hanya dari tunjangan pengungsi dari PBB.
Akan tetapi Ali sendiri sangat istimewa karena bisa belajar bahasa Inggris secara mandiri dan bahkan telah lulus TOEFL serta menulis buku dan puisi.
Sekitar pukul 4 sore baru jalan-jalan kami usai di Taman Mini. Perjalanan singkat yang memperkaya jiwa dan membuka  perspektif baru  tentang perbedaan, identitas, agama, etnis, dan kepercayaan dari berbagai sudut yang berbeda.
Sebuah hari yang indah walau sempat mendung dan hujan rintik-rintik.