Di sini ada sebuah petilasan lengkap dengan dua cangkir minuman, Â alat-alat sembahyang seperti dupa dan juga sebuah lukisan Pangeran Sambernyawa yang juga ternyata adalah Mangkunegara I, yang masih leluhur Ibu Tien Suharto.
Akhirnya selesai sudah acara anjangsana rumah 6 agama dan 1 kepercayaan. Tetapi agenda kami belum selesai. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 1 siang dan perut sudah berontak minta diisi.
Kami segera berjalan menuju anjungan Jawa Timur untuk memesan nasi pecel, rawon dan berbagai jenis makanan lainnya. Â Suasana di tempat makan lumayan ramai sehingga waktu tinggi lumayan panjang. Â Namun kami tetap bersemangat mengikuti satu demi satu agenda.
Setelah istirahat makan siang dan salat, acara berlanjut di anjungan Sulawesi Selatan, tepatnya di deretan  rumah berarsitektur Toraja yang disebut Tongkonan.
Di sini mas Agus bercerita tentang pengalamannya pernah menetap selama 2-3 bulan di Tanah Toraja. Â Berkisah tentang agama asli Nusantara yang bernama Aluk Tudolo yang pernah digolongkan sebagai agama Hindu. Â Walau etnis Toraja sendiri sekarang banyak yang sudah memeluk agama Kristen atau Islam, namun sebagian besar masih menjalankan praktik kepercayaan turun temurun ini.
Salah satunya Allah ritual kematian dan  penguburan yang sangat khas yang disebut Rambusolo. Â
Dijelaskan juga tentang ritual manene dan perlakuan orang Toraja terhadap jenazah yang belum dimakamkan yang masih dianggap sebagus orang sakit, patung kayu Tautau dan adat memakamkan jenazah di bukit yang konon memiliki kesamaan dengan salah satu etnis di Yunan, Tiongkok.
Wah banyak sekali cerita yang didapat dalam waktu yang singkat ini.
Perjalanan kita pun masih belum selesai. Untuk itu kami pindah lagi ke Taman Tionghoa di dekat Museum Hakka. Di sini Mas Agus bercerita lebih banyak tentang identitas serta buku terbarunya Kita dan Mereka. Â