Sepi menjalar di ponselku yang lama menunggu.
Suara angin dingin menderu, sepertinya membawa
isi kantong celanaku, nelangsa. Sisa isinya
tidak dapat gantikan harga lapar yang menyala.
Perut semakin protes saja, "Ingat asam lambung"
gumam perutku. "Jamku liah didalam ponsel berlaku" jawabku.
Ada yang lelah menunggu, ada yang komentar mengganggu.
Ada tenaga ilmu yang siap berbagi candu.
Dan kuota dicangkir kopiku menguap, ponselku habis
semangat, padahal isi perutnya baru saja padat.
Satu jam sesudahnya, barulah surat berita mendarat:
Kiriman cinta untuk ponselku yang habis kuota.
Aku masih di rumah kamar,lapar dan gemetar.
Hujan aku kirimkan ke-whatsapp beberapa teman.
untukku, ada yang memberikan jawaban, dan ada
yang hanya mengirimkan beberapa alasan.
Sementara, candu yang sampai dari temanku
tidak lagi seru, karena tenaga ilmu sudah lama berlalu.
Tinggal mata mencari makna, untuk disimpan
dikepala, dan sebagian kata dilukis dengan pena.
Perut masih sepi dari yang mengasihi.
Agar ia tidak berlanjut kerut: aku balut satu seruput,
dari secangkir hitam yang semakin surut. Masih dalam
kalut berkabut, ponselku kembali ngajak diskusi.
Kini siang semakin terang, malas dilarang datang.
Biarpun lambung semakin gersang, semangat tidak
akan menghilang. Perlahan ponsel melanjutkan
menjahit toga dengan kata yang ia bacakan.
Dari faham semak tenggelam.
Terang akan datang untuk menguatkan, pendidikan
anak jalanan aku jadikan pusat perhatian.
Dan kita masih didalam jaringan, entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H