Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Isyarat Keberanian dalam Sebuah Pesan

27 Desember 2019   15:48 Diperbarui: 27 Desember 2019   15:52 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Entah apa yang merasukimu?" pikir Tama terheran melihat layar komunikasi virtualnya mengeluarkan notifikasi sebuah pesan dari Layla. Berapa lama waktu yang telah berlalu. Mengarungi keheningan rindu yang telah latah dengan sendirinya. Namun badan yang setengah sadar setelah beberapa hari tak henti menyandarkan raga, menyebarkan cintanya, hanya sekejap merespon keheranannya. Rajutan makna yang sedang ia tulis pun Tama letakkan sejenak.

Tidak ada ketertarikan, semua berlangsung biasa saja dan singkat, meskipun itu dari Layla.

Tidak ada harapan bahkan memberikan ruang sedikitpun bagi nafsu yang nantinya membutakan atau menggelapkan ketulusannya kepada Layla.

Sembari memejamkan mata, Tama mesti berperang dengan semua kehendak dan keinginan. "Bukankah aku sudah terbiasa dengan keadaan tanpa sapa, tanpa kata, pun tanpa tatap?" Apa yang sebelumnya membuat heran mendadak menjadi biasa saja. "Lagipula kalaupun itu Layla juga sudah terlalu sering menyapaku, kan?" lanjutnya.

Sebelumnya, Layla pun juga telah mempersiapkan sesuatu agar bisa memastikan kegilaan Tama. Agar memiliki alasan untuk menghubungi Tama. Dan untuk kali pertama juga, Layla menjadi wanita yang normal karena harus mencari alasan untuk menghubungi seorang lawan jenisnya.

Tidak usah terlalu mendramatisir, karena cerita berkesinambungan ini pun bukan cerita bergenre drama atau romansa yang penuh percintaan. Hanya sebuah representatif dari seorang Layla, yang fana dan penuh makna.

 ***

Malam harinya, Tama berkumpul dengan teman-temannya. Disana, mereka saling menceritakan kisahnya masing-masing setelah tak bertemu sekian lama. Sebagian kecil dari temannya telah berkeluarga, sehingga apa yang menjadi topik pembahasan adalah perihal perjalanannya membangun sebuah keluarga.

Tentang bagaimana kebahagiaan yang datang selalu berimbang dengan kegelisahan yang juga datang. Tama dan teman-temannya yang belum memiliki pasangan pun memperhatikan obrolan itu dengan seksama. Agar bisa dijadikan sebuah pembelajaran.

Hingga temannya lantas bertanya, "Lha, kalian kapan akan segera menyusul? Terutama kamu, Tam! Cari pasangan dulu sana!" Semacam sebuah motivasi atau celaan mengingat usia mereka yang sudah melewati masa mudanya.

"Aku? Melihat kalian bahagia dan masih bisa berkumpul seperti ini pun sangat cukup. Kalau maksudmu jodoh, tinggal menunggu waktu dipertemukan. Bukannya semua sudah diciptakan berpasang-pasangan?" jawab Tama dengan santai.

 "Tapi sepertinya kamu tidak ada usahanya untuk mendekati siapa gitu?"

"Jangan bilang kamu masih belum move on!"

"Tapi, si dia (Layla) bukannya sekarang dekat sama Rendi yaa?"

Teman-temannya ini sepertinya berusaha memojokkan Tama untuk bercerita sesuatu.

"Kalian tidak tahu 'kan bagaimana si Tama ketika gak sengaja ketemu Layla di Gunung Andong?" sahut Antok yang pada waktu menemani Tama dan tidak sengaja bertemu dengan Layla.

"Sial...! Emang aku kenapa?"

Antok pun menceritakan ketidaksengajaan itu kepada teman-temannya. Memang sudah menjadi hal yang biasa kami untuk saling berbagi cerita karena kedekatan yang sudah terjalin begitu lama antara Tama dan teman-temannya. Bagaimana Tama dan Layla saling canggung, bahkan ketika mereka bertatapan pun diceritakan dengan detail oleh si Antok.

"Kalau masih ada rasa gapapa, Tam. Hanya saja jangan sampai perasaan itu menutup pintumu buat yang lain."

Tama pun hanya tertawa sambil berkata, "Hahaha... padahal aku membiarkan rasa ini tumbuh dan berkelana dengan sendirinya. Aku tak pernah mengekangnya, apalagi mencoba untuk mengendalikannya."

Dalam perjalanan pulang, Tama memikirkan tentang Layla menurut apa yang menjadi penilaian teman-temannya. Mereka hanya melihat pada apa yang nampak. Sebuah ikatan cinta menurut pemahaman teman-temannya adalah bagaimana sebuah hubungan itu menjadi satu.

Namun, makna cinta yang menjadi dasar sebuah hubungan bagi Tama lebih dari sekedar itu. Yaitu tentang bagaimana seseorang akan terus mencinta tanpa sepatah balasan kata pun dari orang yang dicintainya.

Absurd memang! Jika mencintai sebatas wujud ataupun menjadi satu, hal itu hanya akan memberikan pelajaran tentang kehilangan. Dan pengalaman seringkali seperti itu sudah sering dialami oleh Tama. Seolah Tuhan tidak ingin diduakan jika cinta seorang hamba-Nya melebihi cinta kepada-Nya. Dan seakan-akan hanya Dialah Sang Maha Pencemburu dan hanya Dialah kesejatian yang layak untuk mendapatkan cinta.

Wajar saja jika rindu itu selalu menguak. Membakar gua persembunyian yang memaksa keluar untuk berjalan menemukan manifestasi cinta-cinta yang begitu banyak berserakan di jalanan dan ingin untuk disapa. Membentuk sebuah angan rupa seorang hamba yang selalu menghampiri tanpa pernah mengetahui kenapa Tuhan memberikan wujud rupa itu.

***

Sebuah pesan dari Layla, seketika berubah menjadi rindu. Namun pesan sudah tak lagi bisa diperpanjang. Tidak ada cerita, karena hanya akan menambah ketidakjelasan alur dan arah pembicaraan. Hanya sebuah kesepakatan angka untuk bertemu yang akan menjadi akhir.

Detik demi detik menambah gelisah Tama. Mungkin Tama sudah terbiasa bertemu, akan tetapi kali ini menjadi sesuatu yang tidak biasa. Layla yang biasa datang mewujud angan, kini berani menyapa meski membawa alasan.

"Eh, beneran ini yaa?"

"Paling juga sebentar."

"1 menit, 10 menit, 1 jam, selamanya?"

"Terus apa yang mau diobrolin?"

"Apakah bisa bertemu lagi?"

"Menunggu, Candu!"

Berbagai macam pemikiran mulai berbicara di dalam benak Tama. Keheranan yang justru baru dirasa sekarang daripada ketika waktu setengah sadar menerima pesan tersebut. Sepertinya kegilaan yang tersembunyi atau bahkan memang tak tersalurkan. Sudah mengendap, lalu kembali digali.

Tama telah banyak sekali memelihara rasa lewat tulisan-tulisan yang kini menjadi sesuatu yang disukainya. Bahkan dari kebiasaan menulis tersebut, Tama mulai bertemu banyak orang yang tidak disangka-sangka dan banyak memberikan pelajaran kepadanya.

Ada satu buah kata Tama yang diberi judul 'Jika Aku Mendekat, Larilah' merupakan sebuah pengungkapan akan ketakutannya. Ketidakpantasannya. Atau seperti hubungan-hubungan yang sempat disinggung oleh teman-temannya yang pada akhirnya hanya kan memberikan sebuah pelajaran tentang bagaimana luka, rasa sakit, bahkan kehilangan.

Oleh karena itu, Tama lebih memilih bersembunyi ke dalam gua. Mengasingkan diri dari segala zaman yang menuntut segala kemajuan, namun justru kemunduran. Bertapa dari segala kesenangan-kesenangan sementara, dan memilih berada dalam kesederhanaan-kesederhanaan yang membuka pandangan tentang keabadian. Dan memilih setia kepada rasa, yang tak pernah tahu siapa yang memupuknya dan menyiraminya.

Karena cara menumbuhkannya bukan dilakukan pada umumnya yang mesti terbiasa untuk bertemu, ada kesepakatan rasa terutama cinta untuk saling menjaga. Sedang apa yang dilakukan Tama dilalui dengan cara yang berbeda.

Tidak ada pertemuan dan sama sekali tidak ada kesepakatan rasa. Namun, justru hal itu tumbuh dengan subur karena menemukan siapa yang paling berhak menciptakan dan menumbuhkan rasa.

(-)

Keberanian itu nampaknya tidak diambil begitu saja oleh Layla. Priska yang beberapa waktu sebelumnya menghampiri Layla ikut ambil bagian dalam untuk memastikan kegilaan seorang Tama. Priska yang tak sengaja membuka buku yang tergeletak di meja Layla pun memancing Layla untuk sedikit bercerita tentang rasa.

"Kamu gimana sama Rendi, Laa?" tanya Priska.

"Apasih kamu, Pris. Tiba-tiba pertanyaanmu aneh." Jawab Layla sembari merapikan buku-buku yang berserakan diatas meja.

"Ya, aku penasaran aja. Siapa tau kamu sudah bosan dengan kesendirian dan mulai menemukan kepercayaan atau rasa penasaran kepada seseorang. Dan yang laki-laki yang paling dekat denganmu kan hanya si Rendi." Gurau Priska.

"Haha, belum... tenang aja, nanti aku pasti cerita deh kalau misal aku butuh saran-saran tentang percintaan."

"Ahhh... Mustahil kamu cerita, Laa. Kayak aku baru kenal sama kamu aja." Priska seperti menyerah. "Atau jangan-jangan ada yang lain nih yang mungkin aku belum kenal?" lanjutnya. Priska pun berpikir tidak mungkin kalau buku yan ia tak sengaja barusan dari Rendi.

"Apa to Pris? Sudah ah, bahas yang lain saja."

"Terus ngapain kamu nyuruh aku kesini? Itu tadi buku yang kamu beresin dari siapa?"

"Aaaaaaaakkkkkk, aku lupaaaaa...... Kamu baca apa? Sampai mana?"

"Kamu tuh gak berbakat nyembunyiin sesuatu dari aku, Laa. Tenang aku cuma baca selembar puisi aja, aku tau diri dan pingin denger dari kamu langsung aja."

"Yang dulu pernah aku ceritain ke kamu itu lho, terus loss kontak!"

"Dari beberapa laki-laki yang pernah kamu ceritain, sudah pasti itu si Tama, iya kan?"

Layla pun mengangguk-ngangguk tersipu malu. Dan mulai menceritakan kepada Priska tentang kegilaan makna yang ia tulis di dalam bagian buku itu.

"Seolah selama ini dia selalu menyatakan cinta, menyapa dalam kesunyian, mengisyaratkan rasa setiap hari. Aku hanya bingung mesti."

Priska pun hanya tersenyum melihat kerinduan yang seolah sudah terbayar di dalam raut wajah sahabatnya. Sangat jarang bahkan tidak pernah ada kegelisahan semacam ini sekalipun sahabatnya, Layla, telah melakukan penolakan terhadap beribu pria. Namun, hari ini Priska melihat sesuatu yang berbeda.

"Emang Tama gak pernah ngajak ketemu?"

"Pernah, sesekali, tapi mesti pas aku gak bisa karena ada acara. Tapi, ternyata dia pun setengah mati ingin menyapaku karena begitu memahami kebiasaanku."

"Kapan kamu terakhir kali menyapanya?"

"Gak pernah."

"Gimana sih kamu, Laa. Coba sekali-kali kamu yang ngajak. Sesibuk apapun dia pasti akan menyempatkan, pun jika ada sudah ada agenda lain, Tama pasti merelakan waktunya demi kamu. Tidak seperti kamu!"

Layla pun hanya terdiam, memperhatikan , dan menimbang saran sahabatnya ini.

"Aku akan menanti, apa ini hanya rasa bersalahmu atas Tama, atau memang penantianmu, atau sekedar permainanmu seperti biasa, hahaha...."

***

"Mau kemana, Laa? Sendirian?" tanya ibunya melihat Layla sudah nampak feminim.

"Keluar sebentar, bu. Mau ngasih titipannya temen kemarin. Ada yang lupa tidak kebawa."

"Temen, apa temen? Goda Sang Ibu.

"Priska, iboooooo...." Jawab Layla yang mesti sedikit tidak jujur kepada ibunya.

Ternyata Layla hanya butuh keberanian. Selama ini dia hanya menyalahkan dirinya sendiri, namun itu berubah setelah Tama mengisyaratkan sesuatu kepada Layla lewat kata yang telah tersampaikan. Meski sudah terasa sangat canggung. Selama itu pula Layla merasa seolah hatinya berkata iya, namun kesadarannya selalu saja membantah.

Baik Tama maupun Layla telah mencurahkan keberaniannya masing-masing. Meski membutuhkan rentang waktu yang berbeda. Namun apa artinya rentang waktu tersebut, jika hal itu dapat terlipat dengan pertemuan. Meskipun harus dengan dibayar dengan ongkos rindu yang meski terpendam oleh keberanian yang lebih dahulu dinyatakan.

(klek... klek... klek... suara kunci terbuka)

Apakah pertemuan nanti akan berarti seperti kelahiran kembali? Ataukah hanya sekedar silaturrahmi? Pada akhirnya, sebuah mantra terbalaskan oleh sebuah pesan virtual yang mempertemukan. Semesta pun mengabulkan pertemuan tanpa melibatkan keinginan. Lantas alasan apa yang memberanikan Layla untuk melihat kegilaan Tama?

...

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun