"Haha, belum... tenang aja, nanti aku pasti cerita deh kalau misal aku butuh saran-saran tentang percintaan."
"Ahhh... Mustahil kamu cerita, Laa. Kayak aku baru kenal sama kamu aja." Priska seperti menyerah. "Atau jangan-jangan ada yang lain nih yang mungkin aku belum kenal?" lanjutnya. Priska pun berpikir tidak mungkin kalau buku yan ia tak sengaja barusan dari Rendi.
"Apa to Pris? Sudah ah, bahas yang lain saja."
"Terus ngapain kamu nyuruh aku kesini? Itu tadi buku yang kamu beresin dari siapa?"
"Aaaaaaaakkkkkk, aku lupaaaaa...... Kamu baca apa? Sampai mana?"
"Kamu tuh gak berbakat nyembunyiin sesuatu dari aku, Laa. Tenang aku cuma baca selembar puisi aja, aku tau diri dan pingin denger dari kamu langsung aja."
"Yang dulu pernah aku ceritain ke kamu itu lho, terus loss kontak!"
"Dari beberapa laki-laki yang pernah kamu ceritain, sudah pasti itu si Tama, iya kan?"
Layla pun mengangguk-ngangguk tersipu malu. Dan mulai menceritakan kepada Priska tentang kegilaan makna yang ia tulis di dalam bagian buku itu.
"Seolah selama ini dia selalu menyatakan cinta, menyapa dalam kesunyian, mengisyaratkan rasa setiap hari. Aku hanya bingung mesti."
Priska pun hanya tersenyum melihat kerinduan yang seolah sudah terbayar di dalam raut wajah sahabatnya. Sangat jarang bahkan tidak pernah ada kegelisahan semacam ini sekalipun sahabatnya, Layla, telah melakukan penolakan terhadap beribu pria. Namun, hari ini Priska melihat sesuatu yang berbeda.