Tama yang pada saat itu berada di pinggiran pendopo, tempat diadakannya proses pembelajaran bersama itu pun serasa ditemukan dengan sebuah nilai yang menjadi penawar bahkan mungkin penegasan jawaban yang ia temukan atas situasi yang menimpanya. Sebuah perkenalan dengan lingkungan baru yang sangat berdampak pada perubahan cara pandang Tama mengenai kehidupan.
***
Ketika membaca tulisan yang diberikan oleh Tama, yang pertama terbesit dalam pikiran adalah sebuah  benturan alias ketidaksamaan cara pandang. Layla merasa gregetan ketika begitu banyak Tama lebih mementingkan apa yang diluar dirinya daripada dirinya sendiri. Layla menganggap bahwa Tama terlalu banyak mengorbankan dirinya hingga lupa bersenag-senang.
"Bodo amat, mengapa aku malah memikirkannya!"
Sekalipun Layla mengatakan tidak akan memperdulikan apa yang telah dibaca, namun ia tetap penasaran dengan apa yang tertuang di halaman-halaman berikutnya. Perempuan memang cenderung lebih suka diperhatikan daripada memberikan perhatian, apalagi reaktif terhadap situasi.
"Apa yang aku lewatkan?" gerutu Layla atas pemaknaannya yang tidak dapat menstimulasi makna asih. Kecuali ketidakjelasan kata yang semakin absurd. "Tidak segila ini kan kamu, Tam!"
Seketika itu pula Layla ingin menyapa, untuk memastikan kegilaan pandangan yang tertulis dalam buku yang diberikan.
Sedangkan di saat yang bersamaan, Tama sedang menuliskan makna apa yang telah ia dapat. Di tengah kegiatannya, Tama tetiba teringat buku itu juga ketika memandang kaktus yang hampir sama yang pernah diberikannya dulu kepada Layla. semua itu adalah segala sesuatu yang menemaninya tanpa kata, ataupun sapa. Dia hanya mencoba setia akan rasa, yang tercipta entah darimana. Disaat Layla merupakan salah satu serpihan yang menghilang, namun terus menyapa angan yang tak pernah dinantikan oleh Tama.
"Engkau tak lebih dari angan di antara angan-angan yang selalu datang silih berganti. Sudah tiada ingin bahkan harap akan dirimu. Hanya saja, kata-kata yang telah kubatalkan, yang mungkin sudah terbaca olehmu semoga akan menuntunmu ke kebahagiaan. Walau sudah pasti kau akan anggap aku gila!"
Tama memang sudah tak memperdulikan siapa, hanya rasa. Rasa yang datang dan begitu saja tercipta terasa nampak lebih setia daripada wujud nyata yang termanifestasi dalam ruang pertemuan langsung dengannya beberapa saat lalu.
Tapi Layla, Sang Angan di antara Angan-Angan telah redup tak segemerlap dahulu dengan cahaya-cahaya yang menyinari kisarannya.