Tama menjadi teringat akan sebuah masa dimana ia begitu mencintai dirinya dan terus berusaha menebarkan asumsi tentang belajar mencintai dirinya. Akan tetapi, ada suatu kejadian yang bertabrakan dengan perasaan tersebut. Cinta yang datang lebih besar, yang sanggup meniadakan yang ada ataupun menghidupkan yang seolah telah mati.
Ya, rasa mencintai diri seolah buntu setelah bertemu dengan banyak kehilangan cinta yang selama ini memenuhi diri Tama. Antara buntu atau berevolusi menemukan bahkan menyelaraskan sesuatu yang lebih tepat. Rasa mencintai diri itu tumbuh selama proses mengenali diri. Karena ada sesuatu yang megah, yang agung yang berada dalam diri manusia.
Buat apa kita mencintai diri kalau pada akhirnya apa yang dicintai bakal mati, hilang, lenyap? Bukankah kamu mencintai diri hanya untuk memberikan kenyamanan pada dirimu sendiri, mencari keselamatan dari segala kemungkinan ketidaknyamanan, bahkan menemukan kenikmatan di segala ketidaknikmatan yang berserakan di pikiran. Sekalipun semua yang mati, hilang, dan lenyap pada akhirnya hanya sebatas prasangka.
Setelah rasa kehilangan yang datang bertubi-tubi tersebut, yang tentunya menyayat bahkan menusuk hati hingga tak terperih rasa yang berdarah tanpa darah, berteriak tanpa suara, bahkan menangis tanpa air mata. Tama jatuh, tanpa seorangpun yang mengetahui karena Tama nampak baik-baik saja dengan senyum yang selalu merekah. Semua menyangka, Tama adalah seseorang yang tegar setelah mengalami peristiwa-peristiwa na'as yang menyapanya.
Akan tetapi dari lubang-lubang yang menganga akibat luka itu, Tama seolah semakin menemukan apa yang ia cari di dalam dirinya. Ketidaknyamanan, ketidaknimatan, bahkan kematian menjadi sesuatu yang telah Tama rasakan. Tama menjadi tersadar, jika selama ini ia mencintai hanya untuk menghindari kejadian-kejadian tersebut.
Tapi, hal tersebut tak akan mampu kita hindari sebaik apapun kita merencanakan hidup. Akan selalu ada luka yang menghujam ke hati yang pasti akan dirasakan setiap insan yang mengalami kehidupan. Seolah, itulah cara Tuhan memberikan pelajaran tentang kebijaksanaan dan kearifan.
Disaat itu pula Tama menemukan bahwa mencintai diri bukanlah sesuatu yang perlu dipelajari, karena mencintai diri sendiri sudah menjadi naluri dan terpatri secara otomatis untuk sebaik mungkin menyelamatkan jiwa. Bahkan mencintai diri akan melaju selaras ketika diri membaur dalam keharmonisan dengan semesta raya.
Bahwa aku bukanlah bagian dari semesta, namun semesta-lah yang merupakan bagian dari diriku. Yang harus Tama bagi cintanya dengan semesta yang dimilikinya. Yang tak memperdulikan lagi kendaraan yang Tama tunggangi, yang sering dimaknai sebagai jasad.
"Namun menyelamatkan bukan berarti kamu akan mendapat kenikmatan seperti makna nikmat itu sendiri pada umumnya, terutama ketika masih menjalani kehidupan dunia." Ungkap Mbah Khadir, seorang ulama besar yang tidak pernah mau disebut sebagai Kiai ataupun Ustadz.
Kemudian ada salah satu jamaahnya yang bertanya," Lalu bagaimana kita mengetahui bahwa itu kenikmatan Mbah?
"Nikmat tidak hanya terkandung dalam hal-hal yang menurut kita baik. Di dalam hal yang buruk pun terkandung kenikmatan. Ketika kita masih memiliki hasrat, kita cenderung terjebak dalam idiom benar salah, baik buruk. Dan selama proses pembelajaran yang ada, nikmat hanya dibatasi pada apa yang terkandung dalam hal-hal yang baik dan menyenangkan."