Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pertemuan Tanpa Kata Sepakat

12 September 2019   16:33 Diperbarui: 12 September 2019   16:57 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Cinta, mengapa engkau tinggal terlalu dalam. Terasa mustahil kosong ini mencampakkanmu dalam seribu bahkan berjuta diam sekalipun. Sisa-sisa angan kini telah berserak dan kukembalikan padamu. Mengerak. Sekaligus tersusun menjadi ruang dimana aku bersandar." Terdengar lirih suara Tama sembari memegang kelopak bunga mungil yang belum sepenuhnya mekar.

Menanti keindahan bunga merekah memang membosankan. Terlebih dengan kabut yang menyelimuti, menepis cahaya untuk menampakkan keajaiban semestanyanya. Membutuhkan sebuah pengorbanan kalau memang ingin menikmatinya. Tapi, rasa membosankan ataupun pengorbanan sepertinya tak berlaku bagi seorang Tama. Dia selalu punya cara untuk menikmati apapun, sekalipun kosong.

Bunga itu mengingatkan akan sebuah keindahan angan yang tumbuh subur dalam benaknya. Kecantikannya selalu menghadirkan kebahagiaan meski perjalanan terasa begitu melelahkan. Semerbak keharumannnya seolah menawarkan kehangatan dan berkata, "akulah rasa yang nyata!"

Lantas Tama menjawabnya, "jika kamu memang nyata, haruskah aku setia kepada rasa yang kau tawarkan?"

"Pikirmu siapa yang punya kuasa atas rasa yang selalu dicurahkan ke dalam hatimu? Alih-alih mengenalnya, justru kamu lari berpaling mengikuti hasratmu!"

"Ayo Tam! Kamu lho malah ngapain duduk disitu..." ajak Antok untuk segera melanjutkan perjalanan turun.

***

Sementara dalam perjalanan menuju sebuah perbukitan, Layla masih mengingat tentang kesalahannya pada masa lalu yang diingatnya tadi pagi. Yang sebenarnya sudah jauh Layla buang atau hilangkan kenangan yang sangat menjadi pelajaran baginya. Namun, apa yang Layla rasa sudah dihilangkan, justru jika dirasa malah bertambah melekat. Yang hilang seolah terlahir kembali dengan pertemuannya di pasar waktu itu.

"Laa, nanti kita cari tempat ngopi dulu, yuk!." Kata Rendi.

Namun Layla tak lantas menjawabnya karena pikirannya yang sedang melayang kembali ke masa lalu.

"Laa, Laa.." sapa Rendi sambil menepuk pundak Layla.

Sontak Layla terkejut,"Ah iyaa... Ada, Ren?"

"kamu mikir apa sih sampe bengong gitu?" lanjut Rendi.

"Gak mikirin apa-apa koq, agak ngantuk aja sih."

"Yaudah, habis ini kita cari tempat ngopi dulu yaa."

"Oke deh, manut."

Rendi selain memiliki hobi yang sama dengan Layla, merupakan salah seorang seorang seniman muda di kotanya. Hingga nama Rendi pun cukup dikenal di kalangan para seniman kotanya. Rendi dan Layla sendiri sudah berteman cukup lama, bahkan bisa dibilang seorang sahabat. Mungkin bagi Layla sendiri, hanya Rendi yang dianggap mampu memahami kebiasaannya. Setelah beberapa tahun kebelakang, banyak perjalanan yang dilalui bersama.

Pertemuan pertama mereka terjadi pada saat ada keluarga baru yang baru pindah dari luar kota menempati rumah baru di dekat rumah Layla. Bapaknya Rendi telah pensiun dari perkejaannya dan memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya untuk menikmati masa tuanya. Layla, yang sedang menuju warung untuk membeli makanan, berpapasan dengan Rendi pertama kali ketika Rendi sedang duduk di trotoar sembari menyanyi dengan gitarnya.

Layla yang melihat Rendi pertama kali hanya berprasangka bahwa anak baru alias Rendi ini terlihat ramah tapi sedikit sok keren. Senyum ramah yang dilontarkan ketika Layla melewatinya menjadi dasar penilaian saat itu. Dan selang beberapa saat kemudian, mereka bertemu kembali di sekolah. Ternyata Rendi menjadi kakak kelas baru di sekolahnya. Dengan keramahannya tak butuh waktu lama bagi Rendi untuk menjadi idola para wanita di sekolahnya.

Namun, bagi Rendi, perhatiannya tetap tertuju kepada Layla remaja. Perempuan jelita dengan keindahannya. Berbagai pertemuan terlebih sebagai seorang tetangga telah banyak mempertemukan Rendi dan Layla. Bahkan, orang tua Layla pun begitu mempercayakan Layla kepada Rendi sebagai teman bermainnya sejak remaja.

Secangkir kopi di pagi hari itu pun membangkitkan kenangan Rendi. Sembari menatap seorang perempuan yang begitu memikatnya. Tapi, bahagia itu masih berbatas. Dunia seakan enggan menapakkan kakinya selangkah lagi, 'tuk sekedar mengungkapkan rasa yang mungkin sudah lama dipendam oleh Rendi.

"Lereng itu masih berkabut, masih mau jalan?" tanya Rendi kepada Layla.

 "Jalan aja aja yuk, gapapa kan?" jawab Layla sembari memainkan HP-nya. Ternyata secangkir itu mengingatkan janji yang pernah diucapnya kepada Tama beberapa waktu lalu ketika bertemu di Pasar.

"Siaaap, gapapa lah. Yang penting ndoro bisa menikmati." Hibur Rendi yang melihat Layla sedikit gelisah. Dan niat Layla untuk menghubungi Tama pun tertunda dan segera memasukkan kembali HP-nya ke kantong.

Mereka berdua pun mulai berjalan menapaki jalanan desa sembari sesekali mengambil foto keindahan yang menyapa. Cahaya mentari yang tertutup kabut menjadi tantangan tersendiri bagi para fotografer muda ini untuk dapat memaksimalkan gambar yang didapat tanpa mengurangi kealamiannya.

***

"Tam, itu bukannya Layla yaa?" kata Antok dengan nafas yang terengah-engah setelah berlari turun dari atas.

"Hah, Layla? Masa sih!" jawab Tama sedikit tak percaya jika Layla berada di kaki Gunung ini.

"Jangan Kau coba menghiburku, setelah Kau mengingatkan akan rindu lewat sekuntum bunga tadi." Gumam Tama dalam hati.

"Laaaaa....." teriak Antok dari lereng bukit.

Layla dan Rendi pun segera menengadah ke atas. "Bukankah itu Antok, sepertinya habis muncak dia." Kata Rendi melihat si Antok yang terlihat heboh dengan lambaian tangannya. "Eh tunggu, siapa itu yang dibelakangnya. Tama?" lanjut Rendi.

"Hah, Tama! Kenapa tiba-tiba mesti bertemu dengannya? Disini? Apakah karena ingatanku tadi yang memanggilmu? Tapi, aku kan belum menyapamu." Kata Layla dengan mati gaya dalam hati.

"Haaaaaaa, Antooookkk..." sontak Layla berteriak untuk menghilangkan kegugupannya.

Baik Tama maupun Layla saling berjalan, mendekat dan terus mendekat. Tiap jengkal adalah ketidakpercayaan akan sebuah pertemuan yang tak disangka.

"Kenapa mesti bertemu disini?"

"Aku mesti beralasan apa atas janji waktu itu."

"Apakah ini jawaban atas sapaanku kepadamu? Meski tak sedikitpun sapaan itu mampu kau dengar."

"Kenapa aku jadi gugup?"

"Bahkan langkah kaki ini pun melaju mendekatimu, meski sebenarnya aku masih menanti pertemuan dengan secangkir kopi itu."

"Aaaaaarrggghh, jangan sekarang. Aku belum siap."

Sebuah kegelisahan begitu mengusik pikiran mereka, baik Layla maupun Tama. Tapi, teriakan tadi sudah menjadi janji diantara kita untuk melangkah saling menatap lebih dekat. Sorot cahaya pun mulai menembus celah-celah kabut. Seolah semesta mengisyaratkan sebuah salam atas rasa yang dititipkan ke masing-masing insan.

Pertemuan adalah janji. Tapi pertemuan itu sendiri terlalu banyak tendensi untuk menghapuskan kebutuhan akan rasa untuk merindu. Demi rasa bahagia dirinya. Meski terlalu banyak kata yang mengatasnamakan dia. Seolah hanya dia yang membawa bahagia, disaat sesungguhnya dirinyalah yang sedang membahagiakan dirinya sendiri. Terutama dengan sapaan-sapaan atau rayuan yang langsung tertuju kepada yang dianggap membawa bahagia.

Lain halnya dengan Tama, pertemuan bukan berarti isyarat kebahagiaan. Pertemuan adalah konsistensi rasa yang sama. Sapaan-sapaan tak langsung tertuju kepada yang membawa bahagia. Bahkan, ia biarkan sapaan itu melayang bersama angin. Atau lenyap tertelan gelapnya malam. Namun, siapa yang tidak memiliki harapan sama sekali untuk bertemu yang terkasih? Dan yang terpenting bagi seorang Tama, jika sebuah pertemuan itu adalah ruang dipertemukannya apapun yang pasti ada alasan atas pertemuan yang terjadi. Setidaknya untuk dinikmati dan dimaknai. Termasuk pertemuan kali ini, tiada janji kecuali rindu yang meraung dalam kalbu.

Mereka pun saling berbincang satu sama lain. Antok dengan sifat kegirangannya terlihat sangat vokal. Rendi tak kalah menuangkan ide-ide inspiratifnya layaknya seorang seniman. Tama hanya sesekali nyambung dengan bahasa-bahasa sindirannya. Sedangkan Layla, cukup dengan senyumannya mampu melengkapi dan menghiasi pertemuan diantara mereka.

"Andai saja ini nyata, tapi mengapa aku lebih merasa bahwa pertemuan itu tidak nyata?" kata Tama sembari menengadahkan kepalanya ke sumber cahaya yang terselip di antara ranting-ranting pepohonan itu. Sementara Layla, sesekali main mata melihat Tama yang nampak tersenyum sendiri ketika menengadahkan kepalanya. "Apakah kamu masih mengharapkanku, Tam?" Layla mencoba bertanya kepada hatinya, lirih.

Rendi yang melihat Layla pun mulai sadar lamunan atau kegelisahan yang dialami Layla, "Masihkah kamu menaruh perhatian kepadanya setelah apa yang dulu kamu alami?" Dan mereka pun hanyut dalam prasangkanya masing-masing. Saling menafsirkan tatapan yang seolah penuh dengan sebuah isyarat. Dalam keterbatasan ucap yang mesti tertahan tanpa pernah sekalipun dapat terucap tentang kesungguhan rasa.

Pulang perlahan sedari tadi menapaki fajar. Sembari menanti tanda fajar menyeruak dari balik kabut. "haruskah aku duduk dan berbicara denganmu?". Membisikkan kasih yang dirasa tak pernah mampu dicipta oleh Tama. Hingga menimbulkan hasrat akan cinta yang akan Layla beri esok. Meski sunyi. "Haruskah aku menjemputmu?". Disaaat telah Tama sampaikan berkali-kali sapaan rindu kepada Layla, meski sebatas dititipkan kepada semesta.

Mungkin bayang yang selalu hadir ke dalam angan serasa cukup bagi Tama. Hingga nyata berbalik arah menjadi hampa, karena ia datang tanpa rasa. "Cukup cahaya ini sebagai penghias qalbuku, dengan rasa yang selalu datang memelukku.Tanpa kata, tanpa sapa, tanpa cerita." Dan sebuah pertemuan ini bagi Tama, hanya sebatas sandaran letihnya dalam angan sejenak, sembari menanti ikhlas di kehampaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun