"Cinta, mengapa engkau tinggal terlalu dalam. Terasa mustahil kosong ini mencampakkanmu dalam seribu bahkan berjuta diam sekalipun. Sisa-sisa angan kini telah berserak dan kukembalikan padamu. Mengerak. Sekaligus tersusun menjadi ruang dimana aku bersandar." Terdengar lirih suara Tama sembari memegang kelopak bunga mungil yang belum sepenuhnya mekar.
Menanti keindahan bunga merekah memang membosankan. Terlebih dengan kabut yang menyelimuti, menepis cahaya untuk menampakkan keajaiban semestanyanya. Membutuhkan sebuah pengorbanan kalau memang ingin menikmatinya. Tapi, rasa membosankan ataupun pengorbanan sepertinya tak berlaku bagi seorang Tama. Dia selalu punya cara untuk menikmati apapun, sekalipun kosong.
Bunga itu mengingatkan akan sebuah keindahan angan yang tumbuh subur dalam benaknya. Kecantikannya selalu menghadirkan kebahagiaan meski perjalanan terasa begitu melelahkan. Semerbak keharumannnya seolah menawarkan kehangatan dan berkata, "akulah rasa yang nyata!"
Lantas Tama menjawabnya, "jika kamu memang nyata, haruskah aku setia kepada rasa yang kau tawarkan?"
"Pikirmu siapa yang punya kuasa atas rasa yang selalu dicurahkan ke dalam hatimu? Alih-alih mengenalnya, justru kamu lari berpaling mengikuti hasratmu!"
"Ayo Tam! Kamu lho malah ngapain duduk disitu..." ajak Antok untuk segera melanjutkan perjalanan turun.
***
Sementara dalam perjalanan menuju sebuah perbukitan, Layla masih mengingat tentang kesalahannya pada masa lalu yang diingatnya tadi pagi. Yang sebenarnya sudah jauh Layla buang atau hilangkan kenangan yang sangat menjadi pelajaran baginya. Namun, apa yang Layla rasa sudah dihilangkan, justru jika dirasa malah bertambah melekat. Yang hilang seolah terlahir kembali dengan pertemuannya di pasar waktu itu.
"Laa, nanti kita cari tempat ngopi dulu, yuk!." Kata Rendi.
Namun Layla tak lantas menjawabnya karena pikirannya yang sedang melayang kembali ke masa lalu.
"Laa, Laa.." sapa Rendi sambil menepuk pundak Layla.