"Andai saja ini nyata, tapi mengapa aku lebih merasa bahwa pertemuan itu tidak nyata?" kata Tama sembari menengadahkan kepalanya ke sumber cahaya yang terselip di antara ranting-ranting pepohonan itu. Sementara Layla, sesekali main mata melihat Tama yang nampak tersenyum sendiri ketika menengadahkan kepalanya. "Apakah kamu masih mengharapkanku, Tam?" Layla mencoba bertanya kepada hatinya, lirih.
Rendi yang melihat Layla pun mulai sadar lamunan atau kegelisahan yang dialami Layla, "Masihkah kamu menaruh perhatian kepadanya setelah apa yang dulu kamu alami?" Dan mereka pun hanyut dalam prasangkanya masing-masing. Saling menafsirkan tatapan yang seolah penuh dengan sebuah isyarat. Dalam keterbatasan ucap yang mesti tertahan tanpa pernah sekalipun dapat terucap tentang kesungguhan rasa.
Pulang perlahan sedari tadi menapaki fajar. Sembari menanti tanda fajar menyeruak dari balik kabut. "haruskah aku duduk dan berbicara denganmu?". Membisikkan kasih yang dirasa tak pernah mampu dicipta oleh Tama. Hingga menimbulkan hasrat akan cinta yang akan Layla beri esok. Meski sunyi. "Haruskah aku menjemputmu?". Disaaat telah Tama sampaikan berkali-kali sapaan rindu kepada Layla, meski sebatas dititipkan kepada semesta.
Mungkin bayang yang selalu hadir ke dalam angan serasa cukup bagi Tama. Hingga nyata berbalik arah menjadi hampa, karena ia datang tanpa rasa. "Cukup cahaya ini sebagai penghias qalbuku, dengan rasa yang selalu datang memelukku.Tanpa kata, tanpa sapa, tanpa cerita." Dan sebuah pertemuan ini bagi Tama, hanya sebatas sandaran letihnya dalam angan sejenak, sembari menanti ikhlas di kehampaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H