Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bermartabat, Bergembira, dan Bermakna Akhirat

27 Agustus 2019   16:46 Diperbarui: 27 Agustus 2019   16:57 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Simbah yang belajar ke putu atau putu yang belajar ke Simbah? Indonesia ini ada karena ada kita semua. Pemerintah pusat mesti belajar ke daerah atau daerah yang belajar ke pusat?" lanjut Mbah Nun mencoba mengubah cara pandang yang mungkin selama ini terbalik.

 "Pusat yang belajar ke daerah!"

"Indonesia yang belajar ke Banjarnegara!"

"Putu yang belajar ke Simbahnya!" terdengar berbagai jawaban dari para jamaah yang meluap-luap seolah mereka sudah lama memendam hasrat terpendamnya di hadapan para pemimpin mereka.

Pada malam hari itu, semua berkumpul dalam ruang pembelajaran atau sinau. Dalam makna lain Simbah menjelaskan jika sinau itu ada kajian dan pengajian. Dan pengajian yang lebih umum digunakan selama ini memang sebelum muncul trend kajian belakangan ini, terutama dalam ruang keagamaan. Hanya saja, Mbah Nun hanya menjelaskan tentang pengajian yang urusannya adalah aji, martabat. Sedangkan sejahtera berada di urutan berikutnya.

"Konsep pembangunan Indonesia selama ini mengutamakan apa?" tanya Mbah Nun. Kesejahteraan yang selalu kita utamakan selama ini malah berakibat pada hilangnya martabat negeri ini. Simbah mengibaratkan lebih utama mana antara lapar dan tidak berpakaian? 

Dengan segala cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan rakyatnya, hingga terkadang lupa untuk menjaga martabat. Baik sebagai bangsa maupun sebagai individu. Tapi seperti apa yang disampaikan Simbah setelah pembacaan tadarrus, "selalu tidak diizinkan oleh Allah untuk menyengsarakan siapapun."

Dan kita mesti belajar untuk niteni rute bencana yang telah terjadi, kira-kira apa yang akan terjadi apabila tetap saja masih ada yang mendustakan ayat-ayatNya pada negeri itu. Hanya saja kalau disuruh untuk memilih, kita lebih mending ditegur oleh orang lain daripada ditegur langsung oleh alam. Sebelum jauh memikirkan bangsa ada baiknya kita mulai niteni dari diri sendiri. Siapa yang sebenarnya ada dalam diri kita?

dokpri
dokpri
Potensi yang ada dalam diri kita adalah Allah, Kanjeng Nabi dan semua orang-orang baik, dan setan. Kalau misal dipresentase, manakah yang memiliki presentase paling besar? Tentu masing-masing jamaah memiliki pendapatnya sendiri tergantung cara untuk menilai itu sendiri. Sangat sulit untuk menjabarkan, mengenali, bahkan mengidentifikasi 'siapa' yang berada dalam diri kita. Jadi sekiranya martabat tidak menjadi yang utama itu sudah pasti menjadi hal yang lumrah.

Mbah Nun mengingatkan jika penting bagi kita untuk tarhimman, sebuah lantunan yang lambuat laun mulai hilang. Di awal kalimat tarhim yaa imamal mujahidin Yaa Rasulullah. Yang memiliki makna bahwa Kanjeng Nabi merupakan imamnya para pejuang. Bukankah di dalam hidup kesadaran utamanya adalah berjuang? "Dadi wong kui ora kudu pinter, asal mau terus berjuang dan terus belajar." Kata Mbah Nun.

"Lantas adakah beda antara negara dan negeri?" Kembali Mbah Nun mengajak jamaah untuk sedikit memaknai hal yang terlihat sepele namun ternyata sangat penting. "Apakah kepala keluarga sama dengan kepala rumah tangga?" lanjut beliau. Kita mesti belajar membedakan mana negara mana negeri. Mana urusan dapur, mana yang urusan kenegaraan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun