Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bermartabat, Bergembira, dan Bermakna Akhirat

27 Agustus 2019   16:46 Diperbarui: 27 Agustus 2019   16:57 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Termos berisi kopi hitam robusta sudah tertampung rapi dalam tas berbaur dengan perlengkapan kerja lainnya. Kopi menjadi senjata wajib sebelum bermesraan dengan Layla, mungkin. Dan karena jarak yang akan ditempuh cukup melebar sekaligus untuk mengoptimalisasi waktu tempuh, maka sepulang kerja mesti lekas bergegas menuju Banjarnegara, tempat dimana malam hari itu akan dilaksanakan sinau bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Beruntung, kali ini perjalanan tidak sendirian karena ditemani 3 saudara lainnya yang secara kebetulan juga ingin ikut acara sinau bareng.

Tak jarang label identitas, contohnya dari dianggap sebagai seorang militan maiyah, sampai dicap yang terlalu taqlid kepada Mbah Nun, tak lebih hanya prasangka mereka tentang batas pemikiran kebenarannya. 

Di saat niat utama untuk mendatangi acara sinau bareng adalah rasa rindu dan ketidaktahuan. Tentang masih perlunya untuk mendatangi suatu majelis ilmu dengan mendengar nasihat fatwa hati, bersilaturrahmi kepada yang menuangkan ilmu meski tanpa bersalaman dan bertatapan secara dhohir, kepada saudara-saudara yang dipertemukan, bahkan kepada semesta yang ikut bermesraan sepanjang malam.

Jika sudah niat untuk bercinta, lakukanlah dengan tulus dan keikhlasan. Dari keadaan tersebut kita akan semakinberinteraksi dengan diri sendiri karena selalu ada ujian dalam perjalanan, seperti hujan yang tiba-tiba menyapa, sampai merasa lelah akibat berkurangnya waktu istirahat. 

Itu normal, semuanya akan mengalami fase tersebut. Lulus atau tidaknya tergantung intensitas interaksi kepada apa yang ada dalam dirimu sendiri. Seberapa pintar kita bernegosiasi untuk lebih memperdalam atau mencukupkan diri.

Kami berempat tiba di Banjarnegara sekitar pukul 19.30 setelah kira-kira menempuh 2,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Sesampainya di Alun-Alun Banjarnegara, kesan pertama adalah tempatnya yang bagus dan bersih hingga nampak rapi jika dibandingkan dengan Alun-Alun kota lain. 

Sedang jamaah di depan panggung masih nampak sepi dan remang-remang. Lumayan bagi kami setidaknya untuk mencari spot yang nyaman sembari beristirahat sejenak. Dan menyapa kanan-kiri kami dari mas-mas sampai rombongan ibu-ibu yang tepat berada di belakang kami.

Mbah Nun dan Kiai Kanjeng mulai menaiki panggung sekitar pukul 20.30 bebarengan dengan jamaah yang lain. Tadarrus pembacaan surat Al-A'raaf ayat 96-101 sedikit memberikan gambaran tentang apa yang akan dipelajari malam hari ini. Yakni tentang rekonstruksi pemahaman mayarakat sebagai rakyat suatu negeri. 

Apakah sudah sesuai atau kurang tepat, dan apakah ada yang lebih tepat? Para wakil rakyat Banjarnegara pun ikut dalam acara sinau bareng, termasuk Bupati Banjarnegara, Bapak Budi Suwarno.

Acara sinau bareng malam hari ini sekaligus memmperingati memperingati hari jadi ke-449, disaat Indonesia baru merayakan dirgahayu yang ke-74. 

"Jadi Banjarnegara itu Mbahnya, Buyutnya, atau canggahnya Indonesia? Banjarnegara yang harus belajar ke Indonesia atau Indonesia yang belajar ke Banjarnegara?" tanya Cak Nun kepada para jamaah.

"Simbah yang belajar ke putu atau putu yang belajar ke Simbah? Indonesia ini ada karena ada kita semua. Pemerintah pusat mesti belajar ke daerah atau daerah yang belajar ke pusat?" lanjut Mbah Nun mencoba mengubah cara pandang yang mungkin selama ini terbalik.

 "Pusat yang belajar ke daerah!"

"Indonesia yang belajar ke Banjarnegara!"

"Putu yang belajar ke Simbahnya!" terdengar berbagai jawaban dari para jamaah yang meluap-luap seolah mereka sudah lama memendam hasrat terpendamnya di hadapan para pemimpin mereka.

Pada malam hari itu, semua berkumpul dalam ruang pembelajaran atau sinau. Dalam makna lain Simbah menjelaskan jika sinau itu ada kajian dan pengajian. Dan pengajian yang lebih umum digunakan selama ini memang sebelum muncul trend kajian belakangan ini, terutama dalam ruang keagamaan. Hanya saja, Mbah Nun hanya menjelaskan tentang pengajian yang urusannya adalah aji, martabat. Sedangkan sejahtera berada di urutan berikutnya.

"Konsep pembangunan Indonesia selama ini mengutamakan apa?" tanya Mbah Nun. Kesejahteraan yang selalu kita utamakan selama ini malah berakibat pada hilangnya martabat negeri ini. Simbah mengibaratkan lebih utama mana antara lapar dan tidak berpakaian? 

Dengan segala cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan rakyatnya, hingga terkadang lupa untuk menjaga martabat. Baik sebagai bangsa maupun sebagai individu. Tapi seperti apa yang disampaikan Simbah setelah pembacaan tadarrus, "selalu tidak diizinkan oleh Allah untuk menyengsarakan siapapun."

Dan kita mesti belajar untuk niteni rute bencana yang telah terjadi, kira-kira apa yang akan terjadi apabila tetap saja masih ada yang mendustakan ayat-ayatNya pada negeri itu. Hanya saja kalau disuruh untuk memilih, kita lebih mending ditegur oleh orang lain daripada ditegur langsung oleh alam. Sebelum jauh memikirkan bangsa ada baiknya kita mulai niteni dari diri sendiri. Siapa yang sebenarnya ada dalam diri kita?

dokpri
dokpri
Potensi yang ada dalam diri kita adalah Allah, Kanjeng Nabi dan semua orang-orang baik, dan setan. Kalau misal dipresentase, manakah yang memiliki presentase paling besar? Tentu masing-masing jamaah memiliki pendapatnya sendiri tergantung cara untuk menilai itu sendiri. Sangat sulit untuk menjabarkan, mengenali, bahkan mengidentifikasi 'siapa' yang berada dalam diri kita. Jadi sekiranya martabat tidak menjadi yang utama itu sudah pasti menjadi hal yang lumrah.

Mbah Nun mengingatkan jika penting bagi kita untuk tarhimman, sebuah lantunan yang lambuat laun mulai hilang. Di awal kalimat tarhim yaa imamal mujahidin Yaa Rasulullah. Yang memiliki makna bahwa Kanjeng Nabi merupakan imamnya para pejuang. Bukankah di dalam hidup kesadaran utamanya adalah berjuang? "Dadi wong kui ora kudu pinter, asal mau terus berjuang dan terus belajar." Kata Mbah Nun.

"Lantas adakah beda antara negara dan negeri?" Kembali Mbah Nun mengajak jamaah untuk sedikit memaknai hal yang terlihat sepele namun ternyata sangat penting. "Apakah kepala keluarga sama dengan kepala rumah tangga?" lanjut beliau. Kita mesti belajar membedakan mana negara mana negeri. Mana urusan dapur, mana yang urusan kenegaraan. 

Para jamaah diajak naik ke atas panggung untuk menyampaikan pendapatnya tentang perbedaan tersebut. Situasi pembelajaran seperti ini sangat jarang sekali kita dapati pada zaman sekarang dengan waktu yang tidak lazim pada umumnya orang belajar bersama. Dengan hampir seluruh Alun-Alun ini penuh oleh jamaah yang semakin memadati acara sinau bareng malam ini.

Antara negara dan negeri, atau negara dan pemerintah sebaiknya mulai diperhatikan. Jangan dicampuradukkan. Tidak ada salahnya kita belajar untuk lebih membenahi bangsa yang kita cintai ini kedepannya. Dan pembagian tugas itu penting agar jelas arah kemana yang akan dituju.

Tapi, kita semua berkumpul disini adalah untuk proses sinau bareng. Benar dan salah  tergantung bagaimana receiver yang ada dalam pada diri kita untuk memaknai segala seuatu yang telah disampaikan. Yang utama adalah kita sanggup lepas dari segala keresahan dan menikmati kegembiraan inibersama-sama, di Alun-Alun Banjarnegara bersama para warganya.

Dan memang apabila kita sanggup untuk bergembira, maka ilmu yang kita dapat pun akan lebih mudah kita terima daripada ketika sedang dalam keadaan gelisah. Seperti apa yang disampaikan oleh Kyai Muzzamil bahwa zaman dahulu, mayoritas penduduk kota Madinah bukanlah orang muslim, tapi dengan kepemimpinan Rasulullah, Kanjeng Nabi mampu menyatukan penduduk kota tersebut. Salah satu kunci keberhasilan tersebut bukan karena cara memimpinnya dengan menunjukkan kekuasaannya, melainkan dengan menyentuh hati para penduduknya.

"Perang besar adalah perang terhadap diri sendiri agar aku tidak fanatik pada golonganku dan terus berusaha memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia." Pesan Mbah Nun di akhir acara.Pengajian itu seharusnya islamiyah, bukan mahdzabiyah. Mengutamakan kebersamaan daripada kebenaran golongan tertentu. 

Kita mesti bisa menjaga martabat dengan tidak lupa cara untuk berbahagia, dan selalu mampu memaknai semuanya dengan tidak mengesampingkan alam keabadian berikutnya. Akhirat. Sekitar pukul 01.00, acara pada malam itu pun ditutup dengan lagu-lagu dari Kiai Kanjeng sembari menemani prosesi saling salam.

Perjalanan pulang masih panjang bagi kami, setidaknya banyak ilmu dan kegembiraan yang bisa dibawa oleh-oleh kembali pulang, setidaknya sedikit coretan ketidakjelasan ini. Saya sendiri meski lekas bergegas untuk pulang tak peduli hawa dingin yang menunggu di tengah perjalanan. Sebelum lupa kalau besok pagi mesti kembali mburuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun