"Simbah yang belajar ke putu atau putu yang belajar ke Simbah? Indonesia ini ada karena ada kita semua. Pemerintah pusat mesti belajar ke daerah atau daerah yang belajar ke pusat?" lanjut Mbah Nun mencoba mengubah cara pandang yang mungkin selama ini terbalik.
 "Pusat yang belajar ke daerah!"
"Indonesia yang belajar ke Banjarnegara!"
"Putu yang belajar ke Simbahnya!" terdengar berbagai jawaban dari para jamaah yang meluap-luap seolah mereka sudah lama memendam hasrat terpendamnya di hadapan para pemimpin mereka.
Pada malam hari itu, semua berkumpul dalam ruang pembelajaran atau sinau. Dalam makna lain Simbah menjelaskan jika sinau itu ada kajian dan pengajian. Dan pengajian yang lebih umum digunakan selama ini memang sebelum muncul trend kajian belakangan ini, terutama dalam ruang keagamaan. Hanya saja, Mbah Nun hanya menjelaskan tentang pengajian yang urusannya adalah aji, martabat. Sedangkan sejahtera berada di urutan berikutnya.
"Konsep pembangunan Indonesia selama ini mengutamakan apa?" tanya Mbah Nun. Kesejahteraan yang selalu kita utamakan selama ini malah berakibat pada hilangnya martabat negeri ini. Simbah mengibaratkan lebih utama mana antara lapar dan tidak berpakaian?Â
Dengan segala cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan rakyatnya, hingga terkadang lupa untuk menjaga martabat. Baik sebagai bangsa maupun sebagai individu. Tapi seperti apa yang disampaikan Simbah setelah pembacaan tadarrus, "selalu tidak diizinkan oleh Allah untuk menyengsarakan siapapun."
Dan kita mesti belajar untuk niteni rute bencana yang telah terjadi, kira-kira apa yang akan terjadi apabila tetap saja masih ada yang mendustakan ayat-ayatNya pada negeri itu. Hanya saja kalau disuruh untuk memilih, kita lebih mending ditegur oleh orang lain daripada ditegur langsung oleh alam. Sebelum jauh memikirkan bangsa ada baiknya kita mulai niteni dari diri sendiri. Siapa yang sebenarnya ada dalam diri kita?
Mbah Nun mengingatkan jika penting bagi kita untuk tarhimman, sebuah lantunan yang lambuat laun mulai hilang. Di awal kalimat tarhim yaa imamal mujahidin Yaa Rasulullah. Yang memiliki makna bahwa Kanjeng Nabi merupakan imamnya para pejuang. Bukankah di dalam hidup kesadaran utamanya adalah berjuang? "Dadi wong kui ora kudu pinter, asal mau terus berjuang dan terus belajar." Kata Mbah Nun.
"Lantas adakah beda antara negara dan negeri?" Kembali Mbah Nun mengajak jamaah untuk sedikit memaknai hal yang terlihat sepele namun ternyata sangat penting. "Apakah kepala keluarga sama dengan kepala rumah tangga?" lanjut beliau. Kita mesti belajar membedakan mana negara mana negeri. Mana urusan dapur, mana yang urusan kenegaraan.Â