Sekali lagi aku merasakan sesuatu aneh pada diriku ketika menghubungimu. Jantungku berdegup cepat. Aliran darahku serupa air bah yang menyeret apapun didekatnya. Ya, mungkin ini ialah cinta, sekian lama aku tak merasakan ini. Mungkin karena aku terlalu rendah untuk dicinta. Atau rupaku seperti badut, hanya pantas untuk ditertawakan.Â
"Apakah aku boleh membuka hatimu?"
Tanyaku dengan harap menggantung di atas atap. Kubiarkan hingga berhari-hari, hampir habis dimakan rayap. Mungkin rayap itu sangat lapar sehingga harapku menjadi santapan istimewa baginya.
"Jangan hanya membuka, lalu hilang!"
Nadanya lirih, memandangku nanar.Â
"Apakah kau terlalu larut dalam kecewa?" Aku menundukkan kepala. Perasaan ini membuat kepalaku teramat berat. Hampir meremukannya! "Apakah kau tidak mempercayaiku?" Aku melanjutkan ucapanku, setelah beberapa detik tertahan. Awalnya, aku takut menjadi bisu mendadak. Ternyata tidak, aku hanya takut air matanya kembali jatuh membasahi wajah manisnya itu.Â
Dia hanya terdiam, sesekali membenarkan jilbab berwarna cream. Dia amat tenang. Meskipun sepertinya kecewa telah membunuh kepercayaan bahwa tak semua laki-laki itu bajingan.Â
"Kenapa kau hanya diam?"Â
Tanyaku.
"Aku mempercayaimu, tetapi tidak dengan perasaanmu!"
Tiba-tiba tatapannya berubah, seperti binatang akan menerkam mangsanya.
"Percayalah... aku akan menghapus rasa kecewamu itu. Menjadikanmu pelangi setelah hujan bercampur petir.Â
"Maaf, kecewaku terlalu dalam untuk menelan semua janji-janji manis."Â
"Buktikan, jika memang kau serius akan menjalin bahagia bersamaku. Merajut kembali rasa yang telah tercabik-cabik rindu darinya."
Lajutnya.Â
"Baik ... tunggu waktu yang tepat."
"Mau sampai kapan!"
"Besok, lusa, minggu depan, tahun depan atau menunggu kau mati membawa semua janjimu itu!" Lanjutnya.Â
Aku kembali menunduk, diam, mulutku terasa kaku.Â
"Tak usah putus asa begitu, aku hanya belum bisa membuka hati. Hingga waktu berhenti, sampai detik tak lagi bergerak. Mungkin."
"Aku tak akan menyiakan waktu. Bahkan akan kupaksa waktu ini selalu berputar, meskipun aku harus tersayat oleh jarum jam, bahkan jika mati adalah pilihan, aku akan menyanggupi itu."Â
"Duh, tidak usah melebih-lebihkan. Dasar bodoh! Untuk apa kau mati untuk memperjuangkan cinta yang tak pasti?"
"Untuk membuktikan bahwa cintaku tak sekadar keluar dari mulut busukku ini."
Senyum terlukis dari mulutnya yang tipis. Wajah coklatnya berubah menjadi merah.Â
"Mengapa wajahmu berubah menjadi merah?"
"Tidak papa. Aku hanya bingung dengan ungkapan perasaanmu itu."
"Jangan terlalu mengharapkanku. Aku tak mau melubangi hatimu, karena kecewa itu tak akan ada obatnya."
"Kaulah obatnya, aku pun pernah merasa kecewa dan belum ada yang bisa mengobatinya."
"Tapi, kenapa kauyakin kalau aku bisa mengobati lukamu itu?"
"Apakah mencinta butuh alasan lain selain akan menuju dermaga bahagia?"
"Iya, akupun tahu, tapi apakah ada hal lain?"
Aku tersenyum dan berbisik.
"Tidak. Hal lain setelah mencintaimu adalah menyusun rumah tangga kita, kelak, dan tujuannya tetaplah dermaga bahagia."
Senyum kembali terlukis pada mulutnya.
"Aku tak yakin jika  kau benar-benar pernah merasa kecewa."
"Kata-katamu itu seperti jaring yang menjebak ikan-ikan di laut sana."
"Hahaha... aku baru menemukan obat untuk rasa kecewaku ini sekarang, ada pada dirimu, sayang."
"Kenapa harus aku? Bukankah masih banyak wanita lain yang lebih daripada aku?"
"Semenjk kita bertemu, aku merasa sangat nyaman berada di sisimu. Dan jika hati ini menjadikanmu tujuan, aku bisa apa selain harus memperjuangkannya?"
"Jangan terlalu nyaman denganku, sama saja kau menggali kuburanmu sendiri."
"Aku akan tetap bertahan dengan kenyamananku, dan akan membuat hatimu itu luluh."Â
"Baik, buktikanlah!"
Â
***
Â
Berselang dari saat itu, dia menghilang tertelan bumi. Atau ia mati sebelum aku membunuh diriku sendiri dengan jarum jam ini, memaksanya agar terus berputar.Â
Dan pada saat senja menyapa, dia datang kembali.Â
"Apakah kau masih ingat dengan janjiku?"
"Apa yang kau janjikan padaku?"Â
Beribu tanya terlukis di dalam kelopak matanya.
"Aku pernah berjanji memperjuangkan perasaanku padamu, menghapus kecewa pada dirimu."
"Lantas, apakah kau sudah membuktikan ucapanmu tadi?"
Pertanyaan itu menamparku berkali-kali.Â
"Su ... sudah, tetapi kau menghilang bagai asap yang tertelan angin, mengudara menembus langit-langit."
"Tapi, maaf. Kau terlambat."
"Maksudmu?"
Aku menghujamnya dengan tanya.
"Ya. Kau terlambat. Ada pria yang lebih dulu menghapus rasa kecewaku. Kau terlalu lamban untuk membuktikan semua ucapanmu itu. Sekarang, ucapanmu benar-benar hilang dalam benakku."
Mendengar ucapannya, tubuhku seperti terpelanting ke tanah, hancur tak berbentuk. Dan lagi-lagi. Cinta itu aku telan sendiri, mencampurnya dengan rindu. Agar semua habis tak bersisa.Â
"Baiklah. Jika itu yang terbaik. Usahaku memang tandas, tapi cintaku tak akan berhenti sampai di sini. Dan perjuanganku belum berakhir, hingga ragaku menyatu dengan tanah."
"Terserah!"
"Itu hakmu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H