"Maksudmu?"
Aku menghujamnya dengan tanya.
"Ya. Kau terlambat. Ada pria yang lebih dulu menghapus rasa kecewaku. Kau terlalu lamban untuk membuktikan semua ucapanmu itu. Sekarang, ucapanmu benar-benar hilang dalam benakku."
Mendengar ucapannya, tubuhku seperti terpelanting ke tanah, hancur tak berbentuk. Dan lagi-lagi. Cinta itu aku telan sendiri, mencampurnya dengan rindu. Agar semua habis tak bersisa.Â
"Baiklah. Jika itu yang terbaik. Usahaku memang tandas, tapi cintaku tak akan berhenti sampai di sini. Dan perjuanganku belum berakhir, hingga ragaku menyatu dengan tanah."
"Terserah!"
"Itu hakmu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H