Sekali lagi aku merasakan sesuatu aneh pada diriku ketika menghubungimu. Jantungku berdegup cepat. Aliran darahku serupa air bah yang menyeret apapun didekatnya. Ya, mungkin ini ialah cinta, sekian lama aku tak merasakan ini. Mungkin karena aku terlalu rendah untuk dicinta. Atau rupaku seperti badut, hanya pantas untuk ditertawakan.Â
"Apakah aku boleh membuka hatimu?"
Tanyaku dengan harap menggantung di atas atap. Kubiarkan hingga berhari-hari, hampir habis dimakan rayap. Mungkin rayap itu sangat lapar sehingga harapku menjadi santapan istimewa baginya.
"Jangan hanya membuka, lalu hilang!"
Nadanya lirih, memandangku nanar.Â
"Apakah kau terlalu larut dalam kecewa?" Aku menundukkan kepala. Perasaan ini membuat kepalaku teramat berat. Hampir meremukannya! "Apakah kau tidak mempercayaiku?" Aku melanjutkan ucapanku, setelah beberapa detik tertahan. Awalnya, aku takut menjadi bisu mendadak. Ternyata tidak, aku hanya takut air matanya kembali jatuh membasahi wajah manisnya itu.Â
Dia hanya terdiam, sesekali membenarkan jilbab berwarna cream. Dia amat tenang. Meskipun sepertinya kecewa telah membunuh kepercayaan bahwa tak semua laki-laki itu bajingan.Â
"Kenapa kau hanya diam?"Â
Tanyaku.
"Aku mempercayaimu, tetapi tidak dengan perasaanmu!"
Tiba-tiba tatapannya berubah, seperti binatang akan menerkam mangsanya.