Denny tak kalah kagetnya. Selama ini ia tak pernah sedikit pun menggunakan tangan untuk menyakiti putranya, tetapi, ego dan emosi telah menguasainya.
"Kamu enggak tahu berapa uang yang Papa keluarkan untuk mendapatkan minuman itu, kan?!" ucapnya meradang.
"Aku tau, Pa. Harga minuman itu setara dengan makan kita beberapa hari, kan?"
"Bahkan, yang Papa beli sama seperti biaya makan kita sebulan. Apa kamu bisa menggantinya?!" teriak Denny sambil melotot. "Dan kamu tidak meminta maaf."
"Aku tidak bersalah. Aku bersyukur Papa tidak bisa menikmati minuman laknat itu."
Kemarahan Denny memuncak. Ia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Namun, tangannya terhenti di udara ketika dilihatnya Fathir memperpendek jarak dan membusungkan dada.
"Pukul, Pa. Pukul aku sampai puas." Mata cokelat pemuda itu berkaca-kaca menampakkan luka dan membuat Denny mengurungkan niatnya.
"Pergilah, sebelum Papa bertambah marah."
Fathir melangkah meninggalkan sang ayah dengan gontai. Namun, baru lima langkah, Fathir berhenti. "Mama meninggalkan Papa karena cinta," ucapnya tanpa menoleh sedikit pun.
Denny tak peduli. "Mana ada cinta kalau ia pergi untuk lelaki lain," gumamnya.
Setibanya di kamar, Denny menjatuhkan dirinya ke pembaringan. Matanya nanar menatap langit-langit kamar. Pikirannya mengembara pada peristiwa setahun yang lalu.