Fathir mengekori langkah lebar ayahnya, Denny. Baru malam ini Denny pulang setelah tiga hari pergi tanpa kabar. Bukan sekali ini saja Denny melakukan hal itu, bahkan tidak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk.
"Kamu tau apa?" Denny berhenti melangkah, lalu menghadapkan wajah ke arah anak semata wayangnya. "Selama ini kamu selalu mendapatkan apa yang kamu mau. Lalu, kenapa sekarang melarang apa yang Papa suka?" Denny kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.
"Tapi, Pa, bukan begini caranya. Kasihan Mama."
"Kenapa Papa harus mengasihani perempuan itu? Biarlah dia pergi bersama lelaki idamannya," sahut Denny gusar.
"Kalau saja Papa tahu keadaan Mama yang sebenarnya ...."
"Jangan sebut lagi perempuan itu, Fathir! Dia tidak pantas menjadi ibumu!"
"Pa! Dengar Fathir dulu!" Kali ini mahasiswa ekonomi semester tiga itu meninggikan suaranya. Ia tidak rela ibunya dilabeli buruk, meskipun itu oleh ayah yang dulu sangat dekat dengannya.
Fathir merebut tas jinjing berisi tiga botol minuman keras yang ayahnya bawa. Namun, Denny memegangnya dengan erat. Â Adu tarik yang sama kuat, menyebabkan tali tas berbahan spunbond itu putus.
 Akibatnya, botol-botol minuman itu jatuh dan pecah sehingga menimbulkan suara berisik. Seketika aroma alkohol menyeruak memenuhi udara. Spontan tangan kanan Denny terangkat dan melayang di pipi kiri Fathir.
"Akh!" Fathir berteriak menahan panas yang menjalar di pipinya. Seketika wajah putihnya memerah dan tanpa bisa ditahan, setetes air bening keluar dari matanya.