Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Istana Sang Pemaaf

3 Juni 2022   04:00 Diperbarui: 15 Oktober 2022   22:13 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi, bagaimana menurut Pak Ilman? Dia layak diangkat menjadi karyawan tetap di sini, kan?" tanya Zaka penasaran. Sejak tadi ia hanya melihat Ilman, seorang atasan di divisi keuangan, membolak-balik lembaran evaluasi probation milik Fajar.


Ilman meletakkan lembar evaluasi itu di meja kerjanya diikuti pandangan Zaka. Ini adalah bulan kedua masa probation bagi Fajar yang lulus sebagai sarjana akuntansi terbaik di universitasnya. 

Zaka adalah staf HRD yang meloloskan Fajar dalam seleksi karyawan di perusahaan akuntan publik ini.


"Baru dua bulan bekerja di sini, Fajar sudah dua kali datang terlambat dan sekali pulang lebih cepat tanpa izin," ucap Ilman datar.

Baca juga: Cerpen: Yuwaraja


"Tapi, saya tau penyebab Fajar melakukan itu. Pak Cokro yang sedang sakit membutuhkannya. Sebagai anak satu-satunya, dialah yang diharapkan sang ibu untuk menolong ayahnya." Zaka melakukan pembelaan.


Mendengar Zaka menyebut nama ayah Fajar, rahang Ilman mengeras dan jemari kanannya mengepal. Ilman menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar.


"Man, gue tau sakit hati yang lo rasakan. Tapi, jangan sampai rasa sakit itu membuat penilaian lo jadi enggak obyektif." Kali ini Zaka menggunakan kata ganti lo-gue untuk mengingatkan sahabat terbaiknya di masa SMA itu.


Sebagai manajer akuntansi, Ilmanlah penentu kelulusan masa probation bagi calon  auditor di kantor akuntan publik ini.


"Kita lihat hasil evaluasi kerja Fajar sebulan ke depan," ucap Ilman tanpa ekspresi. "Gue mau ke toilet. Lo bisa bantu gue?"


"Oke," jawab Zaka singkat. Ia melangkah ke belakang kursi Ilman, meraih pegangan di kanan-kirinya dan mendorong perlahan. Ya, Ilman, seorang manajer akuntansi yang kredibel mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan yang dialaminya beberapa bulan lalu.


***


Pertengahan Juni setahun yang lalu.


Ilman mengendarai mobil di malam yang makin mengelam. 

Seharian ini, ia bersama tim auditor melakukan kunjungan ke sebuah perusahaan popok sekali pakai milik klien di Karawang. Kunjungan dan meeting dengan klien berlangsung hingga pukul 20.00 WIB. Mereka sudah disiapkan kamar di sebuah hotel, tetapi Ilman lebih memilih pulang.


Jalanan mulai sepi. Hanya sesekali Ilman berpapasan dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Maklumlah, pada pukul 22.10, sebagian orang sudah tiba di rumah mereka sambil menikmati minuman hangat dan camilan ringan. Bahkan, sebagian lagi mungkin sudah meringkuk di kasur empuk di kamar mereka yang nyaman.


Ilman menguap beberapa kali. Kafein pada kopi yang ia minum tadi, ternyata tidak berpengaruh banyak. Pemuda tampan beralis tebal itu mengucek-ucek matanya untuk menghilangkan kantuk.


Tiba-tiba, sekitar 5 meter di hadapannya, sebuah motor melintas dari pertigaan sebelah kiri Ilman. Ia yang tidak siap, terkejut dan segera membanting setir ke kanan. Nahas, gerakan tiba-tiba membuat mobil yang dikendarainya oleng dan berakhir ketika menabrak pohon besar di pembatas jalan.


Ilman merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Cairan hangat ia rasakan mengaliri pelipisnya. Beberapa menit kemudian, ia baru menyadari bahwa dirinya terjepit oleh badan mobil yang diikuti rasa sakit luar biasa di bagian kaki. Ia merasakan pandangannya gelap, lalu tak ingat apa-apa.


***


"Pak, sarapannya dimakan dulu." Seorang gadis berseragam perawat menegur Ilman. Satu jam lalu, ia mengantarkan makanan untuk pemuda berhidung bangir itu, tetapi hingga kini makanan itu masih terlihat utuh.
Lelaki berusia 27 tahun itu bergeming. Meskipun wajahnya dihadapkan ke arah jalanan yang mulai ramai, pandangannya tampak kosong. 

Ilman mengalami fraktur pada tulang kaki kanan akibat kecelakaan yang menimpanya tiga bulan lalu. Dokter yang menanganinya mengatakan, manajer akuntansi itu akan mengalami kelumpuhan sementara.


Ayna, sang perawat, mendekati kursi roda Ilman sambil membawa sepiring nasi goreng kesukaannya. Dua minggu paska operasi, pihak keluarga memintanya untuk menjadi perawat tetap. Gadis yang senantiasa menjaga dirinya dengan berhijab itu tampak sabar melayani Ilman.

Selama dua bulan, Ilman hanya terbaring di tempat tidur dan menjadi sosok temperamental ketika mendapati dirinya tidak bisa berjalan kembali. Benda-benda yang berada di dekatnya, sering menjadi sasaran amukannya.


"Pak, saya suapin, ya," ucap Ayna pelan. Ia tahu pasiennya sedang emosional. "Pak Ilman harus minum obat, jadi perut bapak harus terisi dulu," bujuknya lembut.


"Saya tidak perlu obat," ucap Ilman dingin, tanpa menoleh sedikit pun pada Ayna.


"Tapi ...."


"Tinggalkan saya, Ayna!"


"Baik, Pak." Tanpa banyak kata, gadis berlesung pipi itu berlalu.
Ayna mengerti, Ilman pasti kecewa atas putusan pengadilan yang menyatakan Pak Cokro, orang yang menyebabkannya kecelakaan, tidak bersalah. Meskipun Pak Cokro mengendarai roda duanya dengan kencang, ia tidak bersalah karena tetap berada di jalurnya. Ilmanlah yang mengantuk. Ia  tidak menyadari ada motor melintas sehingga terkejut dan membanting setir.


Sebelum keluar dari pintu kamar Ilman, Ayna menoleh ke arah lelaki yang masih terpaku di balkon kamarnya. Ia menarik nafas, lalu mengembuskannya perlahan. Ia sangat memahami, tidak mudah bagi lelaki penyuka basket itu untuk menyesuaikan dirinya yang aktif dan mandiri dengan kondisinya saat ini yang sangat tergantung pada orang lain.


Paska operasi fraktur kominutif tulang kaki, Ilman harus menjalani terapi psikoterapi, fisioterapi, dan okupasi untuk memulihkan kondisi psikis dan fisiknya. Semua terapi yang dilakukan sangat berpengaruh dalam proses penyembuhannya.


***


Pagi yang cerah, secerah senyum Ilman yang menghiasi wajah tampannya. Sejak ia memasuki pintu lobi kantor, semua orang yang berpapasan dengannya selalu dihadiahi dengan senyuman. Sebuah pemandangan yang tidak didapati dari diri Ilman setahun terakhir. 

Meski hampir seisi kantor penasaran dengan perubahan pada diri lelaki tinggi itu, tak urung aura kebahagiaan Ilman ikut menular.


Kaki Ilman belum pulih benar, tetapi ia tidak bergantung kembali pada kursi roda. Kini, hampir semua kegiatan bisa ia lakukan sendiri. Bahkan, ia mulai bisa berdiri agak lama tanpa bantuan tongkat kruk.


"Bro!"


Tangan Ilman yang hendak menyentuh gagang pintu terhenti. Ia menoleh dan tersenyum manis mendapati sahabatnya setengah berlari menghampiri.


"Wuih, matahari pagi kalah cerah sama senyum lo, Bro!" ledek Zaka.


Ilman tergelak. Pelan, tangan kirinya meninju bahu kanan Zaka. "Lebay!" sungutnya.


Tangan Zaka dengan sigap membuka pintu ruangan Ilman. Ia mengikuti sang sahabat yang mengayun kruk pelan seiring langkahnya.


"Bro, lo keliatan bahagia banget. Cerita, dong!"


"Lo kepo amat, sih, kayak netizen plus enam dua." Kini gantian Ilman yang meledek temannya.


"Lo masih menganggap gue sahabat, kan?"


"Yaelah, sekarang lo baper kayak Inem yang kagak diapelin Parmin," sahut Ilman. Tawanya pecah melihat sahabat terbaiknya semakin menekuk wajahnya. "Iya, deh, gue kasih tau."


"Nah, gitu, dong! Jadi, ada berita bahagia apa, nih?"


"Tadi pagi, Ayna ngabarin kalau lamaran gue diterima," jawab Ilman dengan binar di matanya.


"Beneran?" tanya Zaka dengan tatapan tak percaya. "Wah, lo sungguh beruntung bisa mendapatkan gadis sebaik dan sesabar Ayna. Cantik pula!" puji Zaka. "Terus, kapan akad?" tanyanya tak sabar.


"Secepatnya," jawab Ilman kalem.


"Mantap, Bro! Gue ikut bahagia," ucap lelaki berkaca mata itu tulus.


"Ada satu lagi kabar bagus."


"Apa, tuh?" tanya Zaka penasaran.
"Hari ini keputusan hasil evaluasi masa probation, kan? Gue meluluskan Fajar."


"Serius, Man? Apa ini nazar karena lamaran lo diterima Ayna?"


"Enggak, Zak. Sejak seminggu lalu gue udah memaafkan Pak Cokro. Gue bahkan datang ke rumahnya."


"Oh, ya?" Zaka menatapnya tak percaya.


"Sungguh, melihat Pak Cokro menangis karena ucapan maaf gue, hati gue tersentuh. Seketika rasa bahagia masuk ke hati gue. Seolah-olah ada beban yang berat yang terlepas dari hati gue."


"Gue salut, Bro." Zaka menepuk-nepuk bahu sahabatnya penuh simpati.

"Pak Cokro malam itu tergesa-gesa karena putri bungsunya yang sedang sakit DBD mengalami kejang. Namun, akhirnya putri Pak Cokro tidak tertolong karena terlambat membawanya ke rumah sakit." Ilman menampakkan raut sedih. "Justru guelah yang jadi penyebab penderitaan keluarga Pak Cokro," ucapnya penuh sesal.

"Tenang, Bro. Ini bukan salah lo, tapi begitulah takdir yang telah dituliskan Allah. Pasti ada hikmah di balik semua musibah," hibur Zaka. "Gue ingat pernah membaca sebuah hadits, Rasulullah bersabda bahwa Allah menyediakan istana yang indah bagi orang yang meminta maaf dan memaafkan. Berbahagialah, Bro, lo punya kesempatan untuk mendapatkannya."

"Makasih, Bro. Elo emang sahabat terbaik gue." Diraihnya bahu Zaka dan dipeluknya erat. Sungguh, Ilman merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Karena dengan memaafkan membuat hatinya lapang dan semakin mempercepat proses kesembuhannya. 

~ Tamat ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun