Selama dua bulan, Ilman hanya terbaring di tempat tidur dan menjadi sosok temperamental ketika mendapati dirinya tidak bisa berjalan kembali. Benda-benda yang berada di dekatnya, sering menjadi sasaran amukannya.
"Pak, saya suapin, ya," ucap Ayna pelan. Ia tahu pasiennya sedang emosional. "Pak Ilman harus minum obat, jadi perut bapak harus terisi dulu," bujuknya lembut.
"Saya tidak perlu obat," ucap Ilman dingin, tanpa menoleh sedikit pun pada Ayna.
"Tapi ...."
"Tinggalkan saya, Ayna!"
"Baik, Pak." Tanpa banyak kata, gadis berlesung pipi itu berlalu.
Ayna mengerti, Ilman pasti kecewa atas putusan pengadilan yang menyatakan Pak Cokro, orang yang menyebabkannya kecelakaan, tidak bersalah. Meskipun Pak Cokro mengendarai roda duanya dengan kencang, ia tidak bersalah karena tetap berada di jalurnya. Ilmanlah yang mengantuk. Ia  tidak menyadari ada motor melintas sehingga terkejut dan membanting setir.
Sebelum keluar dari pintu kamar Ilman, Ayna menoleh ke arah lelaki yang masih terpaku di balkon kamarnya. Ia menarik nafas, lalu mengembuskannya perlahan. Ia sangat memahami, tidak mudah bagi lelaki penyuka basket itu untuk menyesuaikan dirinya yang aktif dan mandiri dengan kondisinya saat ini yang sangat tergantung pada orang lain.
Paska operasi fraktur kominutif tulang kaki, Ilman harus menjalani terapi psikoterapi, fisioterapi, dan okupasi untuk memulihkan kondisi psikis dan fisiknya. Semua terapi yang dilakukan sangat berpengaruh dalam proses penyembuhannya.
***
Pagi yang cerah, secerah senyum Ilman yang menghiasi wajah tampannya. Sejak ia memasuki pintu lobi kantor, semua orang yang berpapasan dengannya selalu dihadiahi dengan senyuman. Sebuah pemandangan yang tidak didapati dari diri Ilman setahun terakhir.Â
Meski hampir seisi kantor penasaran dengan perubahan pada diri lelaki tinggi itu, tak urung aura kebahagiaan Ilman ikut menular.