Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semangkuk Es Krim untuk Ican

20 Maret 2022   08:21 Diperbarui: 30 Mei 2024   19:20 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari masih enggan menampakkan dirinya. Dingin menyelimuti pagi membuat beberapa orang memilih bergelung kembali di tempat tidurnya setelah salat Subuh atau mengusir dingin dengan menyeruput minuman hangat. 

Namun, di sebuah kamar indekos di Kota Kembang, seorang gadis sibuk merapikan kamar dan memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah koper.

Alina, gadis berwajah tirus itu, mengemasi barang-barangnya yang tidak seberapa. Kemarin gadis itu sudah menanyakan persyaratan apa saja yang harus dilengkapi untuk mengajukan cuti kuliah. 

Pagi ini, ia akan memberikan kelengkapan surat pengajuan cuti dan setelah selesai, secepatnya ia akan pulang ke Solo.


Mengajukan cuti sebenarnya pilihan berat yang harus ia ambil. Namun, tak banyak yang bisa ia lakukan mengingat dua adiknya memerlukan biaya untuk sekolah.

Sejak kepergian sang ayah tiga tahun lalu, keluarga mereka hanya mengandalkan penghasilan sang ibu yang membuka warung sembako di halaman rumah mereka.

Keuntungan yang diperoleh memang tidak seberapa, tetapi bisa menyambung kebutuhan hidup mereka sehari-hari. 

Namun, akhir-akhir ini pendapatan mereka berkurang. Daya beli yang menurun menjadi salah satu penyebabnya. Belum lagi kalau tetangga membelinya dengan berutang terlebih dahulu.


Semester ini sebenarnya Alina hanya tinggal meyelesaikan tugas akhir. Namun, untuk mendapatkan data primer skripsi, Alina perlu mendatangi lokasi penelitian dan mencari data sekunder yang mendukung. Setidaknya hal ini membutuhkan uang untuk mobilisasinya.


Alina beranjak ke kamar mandi begitu ia selesai mengemas barang-barangnya. Gadis mungil itu akan ke kampus lebih pagi agar ia lebih cepat pulang.


*


Kampus universitas negeri yang berada di Jatinangor ini tidak terlalu ramai karena memang masih liburan. Kalaupun ada beberapa mahasiswa yang tampak berlalu lalang, mereka adalah mahasiswa tingkat akhir atau yang kehadirannya memang diperlukan di kampus ini.


Tekad Alina sudah bulat, seminggu yang lalu ia sudah mengambil dan mengisi form pengajuan cuti akademik di BAAK, lalu mengajukanya ke Ketua Prodi dan bagian keuangan. Inilah pilihan terbaik yang ia ambil agar sang adik bisa melanjutkan sekolah.


Dengan langkah pasti gadis berhijab biru itu menuju ruang BAAK sambil membawa form pengajuan cuti yang sudah dilengkapi. Diketuknya pintu yang terbuka sedikit. Dari dalam ruangan terdengar suara mempersilakannya masuk.


"Assalamu'alaikum, Bu Sita," sapa Alina begitu ia mendapati orang yang menyuruhnya masuk.


"Wa'alaikumussalam, Alina. Kamu mau mengembalikan form pengajuan cuti?" tanya wanita berkaca mata itu.


"Ya, Bu. Saya jadi mengajukan cuti," sahut Alina datar.


"Kamu bisa melanjutkan skripsimu, Alina. Uang semestermu sudah dilunasi."


"Sudah dilunasi?" tanya Alina dengan alis bertaut, keheranan.


"Lho, Pak Ihsan nggak ngasih tahu kamu?"


Alina tampak kebingungan, ia menggelengkan kepalanya.


"Pak Ihsan itu dosen ekonomi. Saya juga nggak ngerti dari mana dia kenal kamu."


Alina sendiri bingung dari mana seorang dosen ekonomi mengenal mahasiswi psikologi dan ada maksud apa ia melunasi uang kuliahnya.


"Kata Pak Ihsan, dia sangat mengenalmu sejak kecil, begitu juga ibunya Pak Ihsan. Supaya nggak bingung, saya kasih nomor ponsel Pak Ihsan aja, ya." Bu Sita mengambil sebuah kartu nama dan menyerahkannya pada gadis itu. "Kamu bisa mengucapkan terima kasih dan mungkin juga akan menjawab rasa penasaranmu."


"Baik, Bu. Terima kasih," ucap Alina. Ia pun segera pamit dan mengucapkan salam.


*


Matahari sudah tidak lagi terik ketika Alina sampai pada sebuah rumah asri berdesain minimalis.  Memasuki pintu pagar, ia disambut suara gemricik air dari kolam ikan di sudut taman depan rumah itu. 

Seorang wanita berusia sekitar 45 tahun yang membukakan pintu pagar tadi berjalan di depan Aruna kemudian mempersilakannya masuk.


"Siapa yang datang, Bik?" Sebuah suara bariton bertanya dari dalam rumah.


"Tamu, cari Den Ihsan katanya."


"Alina!" Seorang lelaki yang muncul dari ruang tengah setengah berteriak memanggilnya.


Alina memandang lelaki tinggi yang berjalan mendekatinya dengan mata menyipit. Jaraknya dengan lelaki tampan itu makin memendek, lalu sang lelaki menghentikan langkahnya sekitar dua meter di hadapan Alina.


"Hai, kamu lupa, ya?" tanya Ihsan disertai tawa.


Alina masih bingung. Mulutnya terbuka dengan dahi berkerut.


"Alina, kamu beneran nggak ngenalin aku? Aku Ican, Na."


"Ican?" Alina masih terlihat bungung. Namun, lima detik kemudian, "Ican!" Aruna berteriak sambil membulatkan matanya.


"Kamu pangling, ya, lihat aku? Makin ganteng, kan?" ujarnya menggoda Alina.


Gadis itu memonyongkan bibirnya membuat Ihsan tertawa lebar melihat reaksi gadis yang terakhir ditemuinya sepuluh tahun lalu itu. Alina sudah banyak berubah, tetapi Ihsan melihat sifat  manja gadis itu belum hilang.


"Eh, sebentar, aku panggil ibu dulu, ya. Kamu duduk dulu."
Bersamaan dengan itu Bik Inah datang sambil membawa minuman dan pisang goreng hangat.


"Silakan, Neng, diminum dulu tehnya,  pumpung masih hangat." Bik Inah mengangsurkan cangkir yang baru saja dituang teh manis hangat.


"Makasih, Bik," ucap Alina sambil tersenyum.


Tak lama Ihsan kembali bersama seorang ibu paruh baya. Melihat kedatangannya, Alina bangkit dari duduk kemudian menghampiri wanita itu. Alina meraih tangan Bu Halimah dan menciumnya takzim. Bu Halimah membalas perlakuan Alina dengan pelukan hangat.


"Wah, Alina sekarang sudah jadi gadis cantik." Bu Halimah tersenyum sambil menarik tangan gadis itu untuk duduk. "Apa kabar ibu dan adik-adikmu?"


"Alhamdulillah, baik. Bapak mana, Bu?"


"Bapak masih di toko, biasanya jam 5 sore baru tutup.  Na, ibu ikut berduka, ya, atas wafatnya ayahmu," ujar Bu Halimah dengan wajah penuh simpati.


"Terima kasih, Bu. Insyaallah ayah udah tenang di sana."


"Ya, ayahmu orang baik. InsyaAllah dia mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah." Bu Halimah mengaminkan diikuti Alina dan Ihsan.


"Na, ibu ke dapur dulu, ya. Ibu mau menghangatkan makanan untuk Bapak."

"Boleh Alina bantu, Bu?" Alina menawarkan diri.


"Nggak usah, ibu dibantu Bik Imah. Kalian ngobrol aja."


Bu Halimah meninggalkan Alina dan Ihsan yang kembali larut dalam obrolan, mengenang masa-masa ketika menjadi tetangga sepuluh tahun lalu. Sesekali mereka tertawa ketika mengingat kejadian-kejadian lucu di masa kecil mereka.


Ihsan sangat ingat bagaimana manjanya gadis itu di masa kanak-kanak. Alina kecil tidak pernah mau kalah. Gadis kecil itu akan ngambek jika ia kalah dalam permainan kemudian pulang sambil menangis.


Sebagai tetangga, mereka memang dekat. Keluarga Ihsan yang ketika itu dalam kesulitan ekonomi sering sekali mendapat bantuan dari keluarga Alina yang pada masa itu hidup dalam kondisi serba cukup.


Sesekali Ihsan yang kala itu menginjak usia remaja sering dimintai tolong keluarga Alina untuk membersihkan kolam ikan, merawat tanaman, atau pekerjaan ringan lainnya. Ayah Alina akan memberinya uang yang kemudian ia tabung.


Memasuki usia SMA, keluarga Ihsan pindah karena Bapak Ihsan diterima bekerja di sebuah perusahaan properti. Sejak itu komunikasi mereka terputus.


Banyak hal yang terjadi dalam kurun sepuluh tahun. Roda kehidupan terus berputar. Yang semula berada di atas, tidak selamanya berjaya. Yang berada di bawah tidak selamanya menderita. itulah yang terjadi dalam kehidupan keluarga Alina dan Ihsan.


"Bang Ican, terima kasih atas bantuannya, ya. Aku nggak bisa balas apa-apa kecuali doa kebaikan untuk Bang Ican dan ibu."


"Justru aku sangat berterima kasih sama Alina dan keluarga. Di saat orang lain nggak peduli sama kami, ayah Alina selalu memberi pekerjaan sehingga kami merasa dimuliakan dengan tidak meminta-minta."


"Ya, ayah adalah teladan kami dalam kebaikan. Semoga Allah merahmati dan melapangkan kuburnya." Alina medoakan sang ayah yang diaminkan Ihsan.


"Kamu tahu, nggak, apa yang paling berkesan buatku?" tanya Ihsan sambil memandang Alina.


"Apa?" tanya gadis itu penasaran.


"Semangkuk kecil es krim yang diberikan ayahmu setiap aku selesai membersihkan kolam atau pekerjaan lainnya adalah hadiah termewah buatku. Hal itu aku ingat terus, bahkan aroma dan rasanya masih lekat di hidung dan lidahku."


Alina menatap Ihsan dengan mata membulat karena takjub. Ia tidak menyangka hal sederahana itu bernilai sangat besar bagi Ihsan.


"Makasih, Na. Kebaikan keluargamu sangat berarti buat kami. Itulah yang mendorong aku untuk menjadi orang yang bisa memberikan manfaat untuk orang lain."


Alina hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak karena keharuan yang membuncah. 

Itulah yang terjadi bahwa kebaikan sekecil apapun, akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang lain. Alina dan Ihsan sudah merasakannya.


~ Selesai ~

Nikmati juga cerpen saya yang lain:

"Cerpen: Dilipat Waktu" https://www.kompasiana.com/tatiek94998/6233edd8bb448637ce06d692/dilipat-waktu

"Tentang Kamu" https://www.kompasiana.com/tatiek94998/61b7de1cee72f020e779f1a3/tentang-kamu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun