"Tante nggak bawa payung, kan? Biar saya bantu Tante biar nggak kehujanan," ucapnya
Vanya menoleh ke arah Hadi, mengernyitkan dahinya, kemudian menggeleng.
"Makasih, Dek. Asisten Tante bawa payung, kok," ujar Vanya santai.
Hadi meninggalkan Vanya dengan gontai. Pasar modern hanya buka hingga pukul 13.00. Dilihatnya masih ada beberapa pembeli, tapi tampaknya mereka tidak memerlukan jasanya. Dengan sedih, ia keluar pasar. Teriknya matahari yang membakar, menyambutnya. Kerongkongsnnya terasa kering, tapi botol yang dibawa telah tandas isinya.
Hadi duduk melepas lelah di area parkir pasar. Wajah ayah dan ibu, berkelebat dalam pikirannya, menyisakan sedih yang menyesakkan dada. Ia bisa saja menjadi tukang parkir, tapi ini adalah area parkir resmi, sehingga tidak ada tukang parkir berkeliaran. Sedangkan di luar pasar, ada area parkir tidak resmi yang sudah dikuasai kelompok tertentu. Jika ia ingin menjadi juru parkir di sana, tentu bukan hal yang mudah.
Remaja berambut lurus itu melangkah, ia harus pulang, adik-adiknya sudah terlalu lama ditinggal. Sambil berjalan, netra hitamnya memandang sekeliling. Di sisi kanan pasar banyak terdapat ruko yang menjual berbagai macam kebutuhan. Ia menuju sisi kiri pasar, kemudian berjalan ke belakang pasar, ke arah rumahnya.
Hadi melalui gang-gang kecil. Tiba di lapangan yang terletak dua ratus meter sebelum rumahnya, Hadi melihat kerumunan anak-anak seusianya, tengah bersantai menikmati camilan dengan rokok tersemat diantara jemarinya. Ia mengenal beberapa orang dewasa yang ada diantara mereka.
Orang-orang itu beberapa kali datang ke rumahnya menawarkan bantuan. Bahkan mereka berjanji memberikan beasiswa sekolah untuk dia dan adik-adiknya. Hanya satu syaratnya, ia harus mengikuti semua aturan mereka dan menjadi pengantar barang dagangan berupa bubuk putih yang ia tahu membuat teman-temannya ketagihan.
Nanar dipandanginya kerumunan itu. Terbayang si bungsu, Fatih, yang sejak kemarin merengek minta dibuatkan telur ceplok. Ia juga pernah medapati Dina yang diam-diam tersedu di kamarnya. Tanpa terasa aliran bening membasahi wajahnya.
Remaja itu selalu teringat pesan ayah dan ibunya, kerasnya kehidupan janganlah menjadi peminta-minta dan menggadaikan aqidah. Ia yakin, seperti kyakinan yang selalu didengungkan sang ibu, rejeki tiap makhluk sudah ditetapkan. Ia hanya diminta bersabar dan berusaha lebih keras lagi.
Setelah menarik napas panjang, bocah yang dewasa karena tempaan hidup itu melangkah dengan mantap. Dengan uang sepuluh ribu, ia bisa membeli setengah liter beras dan dua butir telur untuk adik-adiknya.