Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asa yang Terenggut

30 Desember 2021   14:05 Diperbarui: 30 Desember 2021   15:31 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: today.line.me


"Bu, mulai hari Senin, Hadi belajar di rumah," lapor remaja kelas 1 SMP itu begitu sang ibu memasuki rumahnya.

"Iya, tadi ibu juga dengar obrolan orang-orang di pasar akan diberlakukan lockdown. Padahal ibu udah belanja buat jualan hari Senin," sahut ibu sedih.

Ratih adalah seorang single parent dengan tiga orang anak. Anak sulungnya, Hadi, berusia 13 tahun. Dina anak keduanya berusia 11 tahun, kelas 5 SD. Sedangkan si bungsu, Fatih, kelas 1 SD. Suami Ratih, Fery, wafat dua tahun lalu karena sakit hepatitis C yang dideritanya.

Sebagai jurnalis, jam kerja Fery sering tidak menentu. Tentu saja hal ini memengaruhi jam tidur dan istirahat hingga berdampak pada kesehatannya. Terlebih ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk berolahraga sehingga ketahanan tubuhnya pun tidak terlalu kuat. Di usia yang belum genap 40 tahun, Allah memanggil Fery keharibaan-Nya.

Tiga bulan pertama, Ratih dan anak-anaknya bertahan dengan tabungan yang ada. Ibu muda yang penyabar ini mulai berpikir, tidak mungkin selamanya ia mengandalkan tabungan. 

Ia tidak memiliki pengalaman bekerja sehingga harus mencari sumber penghasilan dengan cara lain. Ratih gemar memasak dan membuat makanan selingan untuk anak-anaknya. Dengan kegemarannya itu, Ratih memutuskan untuk membuka kantin di sebuah sekolah swasta.


Tabungan yang tersisa, ia jadikan modal untuk memulai usahanya. Seiring berjalannya waktu, kantin Ratih mulai dikenal siswa-siswi di sekolah tersebut. Makanan yang enak dan kebersihan yang terjaga, membuat guru-guru pun ikut berbelanja ke kantinnya. Penghasilan yang diperoleh bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah putra-putrinya.

Namun, pandemi menghampiri negeri ini, menyebabkan semua aktifitas dipaksa berhenti, sebagian malah mati suri. Banyak orang yang merasakan langsung akibat pandemi. Usaha dan lembaga yang berhubungan langsung dengan orang lain dan mengumpulkan orang banyak, tidak beroperasi. Bahkan, beberapa usaha secara perlahan tapi pasti mengalami kemunduran. Pengurangan karyawan terjadi di beberapa lembaga dan perusahaan.

Ratih merasakan langsung akibat serangan mahluk kecil bernama coronavirus diseases. Sekolah daring membuatnya kehilangan sumber mata pencaharian, padahal sewa kantin baru saja diperpanjang. 

Ia terpaksa harus menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ratih mencoba bangkit. Ia mencoba menawarkan makanan buatannya secara pribadi kepada para pelanggannya. 

Namun, menurunnya daya beli, membuat usahanya  tidak berjalan mulus. Ada saja memang pelanggan yang membeli, tapi itu hanya karena rasa kasihan dan tidak membeli setiap hari. Wajar sih, mereka pun pasti lebih memilih  memenuhi kebutuhan yang prioritas.

Awal Juni 2020, new normal mulai diberlakukan. Wanita yang sehari-hari berhijab itu melakukan ikhtiar lain, ia menawarkan makanan olahannya door to door  dan tetap menawarkan hasil olahannya kepada para pelanggan. 

Wanita penyabar itu, menjalani takdirnya dengan senang dan ikhlas. Ia yakin, Allah sudah menjamin rejeki hamba-Nya. Terbukti hingga kini, ia bisa menjalani kehidupannya dan menyekolahkan ketiga putra-putrinya.

***

Matahari bersinar terik, memamerkan kekuasaannya pada bumi. Namun, hal itu tidak menghalangi langkah Ratih menjemput rejeki. Ketiga anaknya adalah energi terbesar yang selalu menyulut semangatnya. Hingga ketika lelah mendera, ia mengabaikannya. Anak-anak bergantung padanya, masa depan mereka masih panjang.

"Dina, tolong ambilkan air dingin ya, Nak. Ibu haus banget," pinta Ratih begitu ia mendudukkan dirinya di kursi tamu yang sudah kusam. Sejak sang suami wafat, belum pernah ada perabotan yang diganti, malah beberapa sudah dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia bersyukur sudah memiliki rumah sehingga tidak perlu mengontrak.

Dina datang membawa segelas air dingin. "Ibu mukanya merah banget," ucap putrinya yang sudah bisa menjaga adik ketika ibunya berjualan.

"Iya, Din, ibu nggak kuat rasanya. Cuacanya panas banget."

"Ya udah, ibu mandi aja, abis itu ibu istirahat," saran bocah yang mandiri karena keadaan yang menempanya.

"Mas Hadi mana, Din?" tanya Ratih ketika tidak mendapati sulungnya.

"Tadi keluar, Bu. Katanya mau beli kertas karton buat tugas."

"Nanti kalau pulang, minta Mas Hadi beliin paracetamol buat ibu, ya."

"Siap, Bu," sahut Dina sambil hormat a la tentara, membuat ibu tertawa.

Malamnya, Ratih menggigil, tubuhnya sangat panas. Hadi memberikan ibu paracetamol dan mengompres dahinya. Hadi dan Dina bergantian menunggu Ratih yang tidur gelisah. 

Tengah malam, Ratih terbangun karena sesak di dadanya. Ia memang memiliki sakit asma, tapi sudah lama sekali sakitnya tidak kambuh. Setelahnya, Ratih tidak bisa tidur hingga pagi.

Atas saran tetangganya, Ratih melakukan tes swab. Pukul 09.15, petugas Puskesmas datang dengan pakaian hazmat. Setelah memeriksa Ratih, petugas Puskesmas berpesan pada Hadi dan adik-adiknya agar memakai masker meski di rumah dan tidak berdekatan dulu dengan ibu mereka. Karena pernapasannya berat, Ratih dibantu dengan bantuan tabung oksigen.

Sore hari, petugas Puskesmas datang dengan ambulan. Ratih positif terpapar Covid-19, ia harus menjalani perawatan. Hadi, Dina dan Fatih hanya memandang ibunya yang dibawa ambulan tanpa bisa melepasnya dengan jabat tangan, apalagi pelukan dan cium sayang.

Selama ibunya dirawat, ketiga anak ini mendapatkan makanan dari tetangga secara bergantian. Sebagai anak sulung, Hadi bertanggung jawab atas adik-adiknya. Ia mengurus semua kebutuhan mereka dan mengatur serta mengawasi.

Kondisi Ratih semakin hari, semakin memburuk. Saturasinya semakin turun sehingga tidak bisa lepas dari bantuan tabung oksigen. Asma yang diderita semakin memperparah sakitnya. Tepat lima hari setelah dirawat, Ratih menghembuskan napas terakhirnya. Ratih dimakamkan sesuai protokol Covid-19.

Hadi dan adik-adiknya ikut menyaksikan prosesi pemakaman. Keharuan memenuhi udara saat Dina tersedu dan memanggil sang ibu berulang kali.

"Ibu .... Kenapa ibu tinggalin Dina? Dina janji nggak akan nakal lagi. Dina janji mau jadi anak yang baik dan nurut sama ibu. Ibu jangan pergi, ya," tangisnya pilu.

Si bungsu, Fatih, hanya menangis tersedu dan memanggil-manggil ibu. Hadi meraih kedua adiknya dalam rengkuhan. Bulir bening menderas di kedua pipinya tanpa suara. 

Tidak, batinnya. Aku tidak boleh sedih, aku tidak boleh lemah. Adik-adikku perlu kakak yang kuat agar mereka bisa melanjutkan cita-cita dan membanggakan ayah ibu, tekad hatinya.

***

Pukul 06.00, Hadi sudah di pasar. Tiga bulan sudah sang ibu menghadap Ilahi, ia tidak bisa selamanya menggantungkan harapan di saat orang lain pun mengalami kesulitan yang sama. Keadaan membuatnya harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan diri dan adik-adiknya. Pekerjaan apa saja ia lakukan, membersihkan kebun tetangga, menguras aquarium, menjadi ojek payung atau seperti hari ini, menawarkan jasa membawakan tas orang-orang yang telah berbelanja.

Hadi kini menjadi tulang punggung keluarga yang menanggung kedua adiknya. Sebenarnya Hadi tidak sendiri, ia mempunyai kakek nenek dari ayahnya, tapi mereka sudah lama tidak terhubung. Pernikahan kedua orang tua Hadi tidak disetujui oleh orang tua Fery hanya karena berbeda suku. Sedangkan Ratih sudah yatim piatu, kedua saudaranya tidak bisa diharapkan karena mereka pun hidup kekurangan.

Pasar modern dekat rumah Hadi seakan tidak ada bedanya dengan masa sebelum pandemi, tetap ramai. Masing-masing sibuk dengan kepentingannya, sebagiannya tampak terburu-buru, mungkin karena masih ada urusan lain yang harus diselesaikan.

Tidak banyak orang yang membutuhkan jasanya. Mereka sebagian membawa tas dengan troli sehingga memudahkan mereka membawa barang belanjaannya. Sebagian lagi belanja dengan anggota keluarga lain atau asistennya.

Seorang wanita muda berjalan tergesa dengan tangan penuh belanjaan, tampak repot sekali. Sesekali terlihat bibirnya mengomel.

Hadi melihat wanita dengan belanjaan seabrek itu, kemudian menghampiri dengan tujuan menawarkan jasa angkut. Remaja yang merelakan sarapan pagi untuk kedua adiknya itu berbunga hatinya. Sudah dua hari ini mereka makan hanya dengan kecap yang dibelinya di warung dekat rumahnya. Dengan penuh harap, didekatinya wanita muda itu.

"Pagi, Tante. Mau saya bantu bawain belanjaannya, Tante?" tawar Hadi ramah.

Vanya, wanita muda yang dipanggil tante, mengamati remaja tanggung itu. Kulit remaja itu yang putih dan bajunya yang tampak bersih, membuatnya tidak percaya. Vanya sudah merasakan ditipu oleh orang lain hanya karena penampilannya yang meyakinkan. Ia pun pernah dicopet oleh pemuda yang terlihat santun dan sopan. Kini, ia tidak akan mudah percaya lagi. Lebih baik ia bersabar menunggu asistennya datang.

"Maaf ya, Dek, Tante lagi nunggu si Mbak," tolaknya halus.

Kecewa seketika menggelayuti Hadi, harapan membawa makan untuk adiknya, pupus sudah. Namun, ia tidak menyerah. Kebetulan gerimis turun, Hadi kembali menawarkan jasanya.

"Tante nggak bawa payung, kan? Biar saya bantu Tante biar nggak kehujanan," ucapnya

Vanya menoleh ke arah Hadi, mengernyitkan dahinya, kemudian menggeleng.

"Makasih, Dek. Asisten Tante bawa payung, kok," ujar Vanya santai.

Hadi meninggalkan Vanya dengan gontai. Pasar modern hanya buka hingga pukul 13.00. Dilihatnya masih ada beberapa pembeli, tapi tampaknya mereka tidak memerlukan jasanya. Dengan sedih, ia keluar pasar. Teriknya matahari yang membakar, menyambutnya. Kerongkongsnnya terasa kering, tapi botol yang dibawa telah tandas isinya.

Hadi duduk melepas lelah di area parkir pasar. Wajah ayah dan ibu, berkelebat dalam pikirannya, menyisakan sedih yang menyesakkan dada. Ia bisa saja menjadi tukang parkir, tapi ini adalah area parkir resmi, sehingga tidak ada tukang parkir berkeliaran. Sedangkan di luar pasar, ada area parkir tidak resmi yang sudah dikuasai kelompok tertentu. Jika ia ingin menjadi juru parkir di sana, tentu bukan hal yang mudah.

Remaja berambut lurus itu melangkah, ia harus pulang, adik-adiknya sudah terlalu lama ditinggal. Sambil berjalan, netra hitamnya memandang sekeliling. Di sisi kanan pasar banyak terdapat ruko yang menjual berbagai macam kebutuhan. Ia menuju sisi kiri pasar, kemudian berjalan ke belakang pasar, ke arah rumahnya.

Hadi melalui gang-gang kecil. Tiba di lapangan yang terletak dua ratus meter sebelum rumahnya, Hadi melihat kerumunan anak-anak seusianya, tengah bersantai menikmati camilan dengan rokok tersemat diantara jemarinya. Ia mengenal beberapa orang dewasa yang ada diantara mereka.


Orang-orang itu beberapa kali datang ke rumahnya menawarkan bantuan. Bahkan mereka berjanji memberikan beasiswa sekolah untuk dia dan adik-adiknya. Hanya satu syaratnya, ia harus mengikuti semua aturan mereka dan menjadi pengantar barang dagangan berupa bubuk putih yang ia tahu membuat teman-temannya ketagihan.

Nanar dipandanginya kerumunan itu. Terbayang si bungsu, Fatih, yang sejak kemarin merengek minta dibuatkan telur ceplok. Ia juga pernah medapati Dina yang diam-diam tersedu di kamarnya. Tanpa terasa aliran bening membasahi wajahnya.


Remaja itu selalu teringat pesan ayah dan ibunya, kerasnya kehidupan janganlah menjadi peminta-minta dan menggadaikan aqidah. Ia yakin, seperti kyakinan yang selalu didengungkan sang ibu, rejeki tiap makhluk sudah ditetapkan. Ia hanya diminta bersabar dan berusaha lebih keras lagi.


Setelah menarik napas panjang, bocah yang dewasa karena tempaan hidup itu melangkah dengan mantap. Dengan uang sepuluh ribu, ia bisa membeli setengah liter beras dan dua butir telur untuk adik-adiknya.

~ Selesai ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun