Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki di Negeri Awan

22 Oktober 2023   14:47 Diperbarui: 26 Oktober 2023   14:15 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dieter Klinkowski from Pikxabay

LELAKI DI NEGERI AWAN

     Lelaki itu tiba menjelang matahari terbit. 

     Orang-orang belum banyak yang datang di puncak bukit itu. Ia mendekat ke tepi, bersandar di pagar. Dengan cahaya alam seadanya, ia melihat lautan awan putih. Pucuk-pucuk gunung nun di kejauhan. 

     Ketika matahari mulai mengintip dari balik gunung, semburatnya berkilauan memancarkan gradasi jingga yang memesona di langit. Terdengar gempita sorak teriak yang riuh. Mereka mulai sibuk memotret dengan ponsel.

     Ia hanya menghela napas panjang. 

     Memanglah indah gambaran panorama alam sunrise dari ketinggian puncak bukit 2045 dari permukaan laut. Namun, itu malah membuatnya semakin gundah.

     Maka ia berpindah, mencari tepi lain yang sepi, menyendiri.

     Udara yang semula menggigit-gigit kulit mulai menghangat. Langit sudah sepenuhnya terang. Orang-orang sudah berangsur turun untuk pulang.

     Rerumputan masih basah bermahkota embun. Angin berhembus semilir. 

     "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

     Terkejut lelaki itu. Kesunyian dipecahkan oleh tanya seseorang. Ia berbalik perlahan, terheran-heran. Seorang kakek tua entah kapan dan dari mana datangnya sudah ada di hadapannya, masih menunggu jawaban dengan tatapan tajam. 

     Siapakah kakek tua ini, tanyanya dalam hati, misterius sekali. 

     "Aku malaikat!" ucap kakek tua seperti sanggup membaca pikirannya.

     Lelaki itu tersenyum kecut.  

     Di sisa senyumnya ia sekilas memperhatikan. 

      Sesosok tubuh kakek tua mungkin berumur hampir 90 tahun, rambut gondrong dengan kumis serta janggut panjang semua putih, tubuh membungkuk, tangan bertumpu pada sebatang tongkat kayu, berbungkus pakaian sederhana seadanya, dan sepatu lusuhnya.

     "Nah, kamu meragukan, kan? Apakah bagimu malaikat itu selalu bersayap putih pada tubuh remaja berpakaian serba putih? Bukan kakek tua renta bertopang tongkat begini. Oh, betapa mudah kamu terkecoh oleh penampilan, anak muda!"

     Ia terperangah, seperti bertubi-tubi badannya disengat lebah. 

     "Aku sedang mencemaskan negeriku yang sekarang berjalan menuju jurang kehancuran. Para pemimpin yang mabuk kekuasaan bersekongkol dengan segerombol orang super kaya, penyebabnya."

     Kakek tua manggut-manggut.

     "Aku tidak yakin kakek malaikat. Tapi kalau benar, tolong sampaikan pertanyaan-pertanyaanku kepada Tuhan."

      "Pertanyaan apa, anak muda?"

      Lelaki itu beberapa antaranya terdiam. Ia berkata setelah merasa tenang.

     "Mengapa aku tidak dilahirkan di Palestina? Supaya jelas siapa musuhku, mereka bangsa Israel yang merampas tanah negeriku! Mengapa aku tidak hidup sebagai orang kulit hitam legam di Afrika Selatan? Agar aku bisa melawan kaum apartheid bersama-sama Nelson Mandela untuk memperjuangkan derajat kemanusian yang dibedakan warna kulit putih-hitam! Mengapa aku tidak dilahirkan di zaman Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dhien, Imam Bonjol, Kapitan Pattimura agar aku ikut berperang melawan Belanda yang menjajah tanah airku!"

     "Di sini, sekarang, tidak jelas siapa yang harus kulawan."

     Kakek tua manggut-manggut lagi. 

     Udara kian hangat. Matahari telah merambat naik di langit. Cahaya amat terang di perbukitan itu. Kesunyian menggenang.

     "Akan kusampaikan pertanyaanmu itu, anak muda. Oh, jika kamu tak yakin aku ini malaikat, tak apalah. Bahkan kamu menganggap aku alien atau orang gila atau jin atau hantu, bukan soal bagiku. Setidaknya, kurasa, aku akan dengan senang mendengarkan selanjutnya kata-katamu."

     Setelah menarik napas dalam-dalam, lelaki itu melanjutkan.

     "Ayahku pejuang reformasi. Dia ikut demonstrasi, berorasi, berhadap-hadapan dengan polisi. Sampai dia duduk di atap gedung parlemen untuk menghentikan KKN para penyelenggara negara. Itu singkatan korupsi, kolusi, nepotisme. Dua puluh tahun setelah itu, perjuangannya seperti lenyap tak berbekas. Korupsi semakin merajalela dimana-mana, kolusi tumbuh subur dan terbuka, nepotisme tanpa malu-malu semakin menjadi-jadi."

     "Mendadak kehidupan beragama kami terusik. Ulama sedang berceramah dianiaya. Adzan berkumandang dianggap mengganggu ketenteraman. Sementara penista agama dibiarkan begitu saja, para pemuka agama malah masuk penjara."

     "Kami tak lagi menemukan teladan. Anehnya, para pejabat kami suka berdusta. Mereka gemar menebar janji tanpa pernah ditepati. Bicara ngasal tanpa akal, jauh dari kesan intelektual."

     "Aku tak mengerti pada tingkah anak-anak remaja. Suka sekali pamer kekayaan orang tuanya. Juga, senang menganiaya teman atau pacarnya. Anak bisa melambung tinggi di suatu jabatan bukan karena prestasi, semata-mata karena keturunan bapaknya."

     "Peraturan disusun ulang atau dibuat yang baru agar menguntungkan segolongan pihak tertentu. Bukan untuk kepentingan umum. Tidak untuk kemaslahatan masyarakat banyak."

     "Orang baik dijauhi, orang kritis dianggap lawan. Orang asing berduyun-duyun datang untuk bekerja, sementara di sini semakin banyak yang menjadi pengangguran. Semakin lama, aku semakin malu menjadi bangsa ini."      

     Suaranya terbawa semilir angin, sebagai pikiran, sebagai kata-kata, sebagai energi yang kekal abadi.      

     Kakek tua yang mengaku malaikat mendengarkan dengan cermat. Seperti burung perkutut, ia makin kerap manggut-manggut. Matanya memperhatikan, anak muda di hadapannya telah sekuat tenaga menyampaikan apa yang ingin diucapkan. Seperti air membanjir bebas mengalir. Ia telah membantu membuka tutup sumbat, agar udara di dada anak muda itu tidak terus membuat pengap hingga bisa menguap tidak terhambat.

     Setelah panjang lebar bicara, lelaki itu merasa lega.  

     "Anak muda, kurasa tidak sia-sia aku mengembara hingga negeri ini. Kamu gelisah, karena kamu peduli pada negerimu. Aku tidak tahu apa nama negerimu ini. Yang kutahu, negeri ini diberkahi kekayaan alam melimpah ruah."

      "Anak muda, selalu ada ruang untuk berjuang.  Hiduplah di zamanmu, perjuangkan tanah airmu sendiri."

      "Anak muda, di setiap negeri yang berkecamuk, pada setiap negara yang dilanda marabahaya, akan datang seorang pahlawan untuk menyelesaikan." 

      Matahari semakin tinggi. Udara sudah tak sedingin pagi. Cahaya di langit sepenuhnya kian terang benderang. Lautan awan tercerai-berai, pemandangan di bawah sudah jelas kelihatan.

     "Sudah siang. Aku tidak bisa terus berlama-lama di sini. Masih banyak urusan." kata kakek tua, menegaskan. 

     Lelaki itu hanya diam saja. 

     Ia sedang berpikir, bagaimana caranya seorang kakek tua bisa naik ratusan anak tangga yang berbatu terjal dan perlu waktu sekitar hampir dua jam sebelum subuh untuk menuju puncak bukit yang di bawahnya bertebaran awan-awan seperti lautan, ketika kakek tua itu mulai berjalan dengan perlahan berbalik menuju arah pulang.

     Pada langkah kaki ketujuh, kakek tua berubah wujud menjadi seekor merpati putih bersih, menengok sejenak pada lelaki muda seolah mengucapkan selamat tinggal, kemudian mulai mengepakkan sayapnya.

     Terbang, melayang, menghilang.***      

Bogor, 22 Oktober 2023.

Sebelumnya: artikel Piting atau Rangkul, Apakah Bermakna Sama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun