"Aku tak mengerti pada tingkah anak-anak remaja. Suka sekali pamer kekayaan orang tuanya. Juga, senang menganiaya teman atau pacarnya. Anak bisa melambung tinggi di suatu jabatan bukan karena prestasi, semata-mata karena keturunan bapaknya."
   "Peraturan disusun ulang atau dibuat yang baru agar menguntungkan segolongan pihak tertentu. Bukan untuk kepentingan umum. Tidak untuk kemaslahatan masyarakat banyak."
   "Orang baik dijauhi, orang kritis dianggap lawan. Orang asing berduyun-duyun datang untuk bekerja, sementara di sini semakin banyak yang menjadi pengangguran. Semakin lama, aku semakin malu menjadi bangsa ini."   Â
   Suaranya terbawa semilir angin, sebagai pikiran, sebagai kata-kata, sebagai energi yang kekal abadi.   Â
   Kakek tua yang mengaku malaikat mendengarkan dengan cermat. Seperti burung perkutut, ia makin kerap manggut-manggut. Matanya memperhatikan, anak muda di hadapannya telah sekuat tenaga menyampaikan apa yang ingin diucapkan. Seperti air membanjir bebas mengalir. Ia telah membantu membuka tutup sumbat, agar udara di dada anak muda itu tidak terus membuat pengap hingga bisa menguap tidak terhambat.
   Setelah panjang lebar bicara, lelaki itu merasa lega. Â
   "Anak muda, kurasa tidak sia-sia aku mengembara hingga negeri ini. Kamu gelisah, karena kamu peduli pada negerimu. Aku tidak tahu apa nama negerimu ini. Yang kutahu, negeri ini diberkahi kekayaan alam melimpah ruah."
   "Anak muda, selalu ada ruang untuk berjuang.  Hiduplah di zamanmu, perjuangkan tanah airmu sendiri."
   "Anak muda, di setiap negeri yang berkecamuk, pada setiap negara yang dilanda marabahaya, akan datang seorang pahlawan untuk menyelesaikan."Â
   Matahari semakin tinggi. Udara sudah tak sedingin pagi. Cahaya di langit sepenuhnya kian terang benderang. Lautan awan tercerai-berai, pemandangan di bawah sudah jelas kelihatan.
   "Sudah siang. Aku tidak bisa terus berlama-lama di sini. Masih banyak urusan." kata kakek tua, menegaskan.Â